BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pola hidup
sufi dimaksutkan sebagai agar seorang tidak terpengaruh atau tidak tergantung
hatinya kepada berbagai hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut dunia,
sehingga betapapun banyaknya harta yang kita miliki, tidak menyebabkan ia
gandrung dan tenggelam dalam gemerlapnya sehingga ia melalaikan dirinya dalam
mengabdi kepada Tuhan-Nya.[1]
Pola hidup ini memotivasi lahirnya hidup zuhud, motivasi lahirnya pola hidup
zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh.[2]
Banyak qaul
atau pendapat yang membicarakan dan membahas mengenai istilah sufi,
apa pengertiannya dan bagaimana konsep keluruhannya secara harfiah maupun
secara ma’nawi. Sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu tasawuf, tertuang beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan
dalam dalam hal ini orang yang menjalankan ajaran-ajaran atau cara-cara dalam
tasawuf maka mereka itulah yag disebut sufi. Sebagian berpendapat
seorang sufi adalah mereka yang selalu berpakaian putih dan aktif atau rajin
serta mengutamakan kegiatan beribadah kepada Allah SWT dibandingakan
kegiatan-kegiatan lainnya khususnya kegiatan yang masih berhubungan dengan
hal-hal yang berbau duniawi.
Secara lugas sufi adalah seseorang yang
mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana
mensucikan hati”. Untuk kearah itu maka
seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi) berpendapat bahwa dirinya haruslah
dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam Tawakal
(penyerahan diri secara total kepada Allah). Dengan demikian menurut beberapa
ulama tasawuf seorang sufi bisa dikatakan sufi jika bisa melewati beberapa
tahapan tertentu dalam beribadah kepada Allah seperti: mahabah, makrifat
dan seterusnya.[3]
Arti kata
zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan
sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan
mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual
atau kebahagiaan akhirat.
Ada 3
tingkatan zuhud yaitu:
1. Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang
yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2. Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap
tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu
dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3. Tingkat Alim
Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai,
karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As
Sarraj At Tusi).
Menurut
AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:
1. Meninggalkan
sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2. Meninggalkan
keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakhiratan.
3. Meninggalkan
segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya
Dalam keterangan di atas dapat
disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari
karena dianggap dapat memalingkan hati, dari
mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa
zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka
mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak
mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada
Allah.[4]
Dewasa ini,
kehidupan manusia tengah ada dalam dinamika moderitas yang ditandai dengan
kemakmuran material, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serba
mekanik dan otomatis. Hal tersebut berdampak dalam hidup dan kehidupan yang semakin mudah. Banyak fasilitas hidup yang
ditemukan mulai dari sarana pemenuhan kehidupan sehari-hari, alat transportasi,
komunikasi, sarana hiburan dan lain sebagainya. Kecanggihan ini membuat manusia lenggah sehingga dimensi
terdistorsi. Kita menyaksikan ketercerabutannya akar sepiritual dari panggung
kehidupan. Salah satu penyebabnya oleh pola hidup yang dilayani perangkat
teknologi yang serba otomatis dan canggih. Ditengah goncahnya kehidupan global
tersebut, berdapat fenomena pada kelompok social tertentu yang terperangkap
keterasingan, yang dalam bahasa sociologi disebut alienasi, atau
dalam dalam bahasa rollo may disebut dengan “manusia dalam kerangkeng”,
satu istilah yang mengambarkan derita manusia modern.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian dari pada pola hidup sufi?
2.
Apa
saja tahap-tahapan yang membentuk pola hidup sufi?
3.
Apa
saja
prinsip-prinsip riyadhah seorang salek?
4.
Bagaimana pola hidup sufi menurut
beberapa tokoh?
5.
Bagaiman implementasi terhadap kehidupan
terutama bagi kehidupan kita sendiri?
C. TUJUAN
MASALAH
1. Untuk
megetahui pengertian dari pada pola
hidup sufi
2. Untuk
mengetahui Apa saja tahap-tahapan
untuk membentuk
pola hidup sufi
3. Untuk
mengetahui Apa saja prinsip-prinsip riyadhah seorang salek
4. Untuk
mengetahui Bagaimana pola hidup sufi menurut beberapa tokoh
5. Untuk
mengetahui Bagaiman implementasi terhadap kehidupan terutama bagi kehidupan
kita sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAKNA
POLA HIDUP SUFI
Pola hidup
sufi yaitu menempuh (jalan) yaitu jalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diajarkan oleh seorang mursyid
atau guru, (al-suluk).[5]
Dengan demikian, seorang sufi adalah tipe seorang muslim yang menjadi contoh
bagi nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, menjadi kumpulan bintang kehidupan
yang penuh dengan ketekunan dan kesungguhan, amal rohani, dan peradapan yang
langgeng. Seorang sufi hidup dengan badan beserta budi pekerti dan jiwa beserta
hakikat kebenaran. Hal ini terlihat adanya pemisah (antara ia dan dia) dalam
tutur katanya, tetapi satu dalam relung hatinya. Ia mengetahui bahwa perbuatan
yang disertai dengan kelalaian lebih baik dari pada lalai dari berbuat.[6]
B. TAHAPAN-TAHAPANNYA
MEMBENTUK POLA HIDUP SUFI
Dalam dunia tasawuf, agar para sufi atau
calon sufi dapat enjadi manusia sempurna dan akhirnya dapat bersatu dengan
tuhan, mereka melakukan cara
atau metode kesufian. Metode yang digunakan para sufi atau calon sufi pada
umumnya adalah : takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli merupakan langkah pertama yang
harus ditempuh para sufi. Dalam langkah awal ini seorang sufi berusaha keras mengosongkan dirinya dari sikap
ketergantungan terhadap kelezatan
hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
segala kemaksiatan dalam berbagai bentuknya dan berusaha melenyapkan
dorongan-dorongan hawa nafsu, karena hawa nafsu itulah yang menjadi penyebab
utama dari segala sifat yang tidak baik. Bagi
mereka, dunia ini merupakan penghambat kelangsungan cita-cita mereka. Dunia adalah penghalang perjalanan, karena itu nafsu
yang bertendensi dunawi harus dimatikan atau ditekan sekuat-kuatnya agar mereka
bebas berjalan menuju tujuan, yaitu mencapai spiritual hakiki. Bagi
mereka, memperoleh keridhoan Tuhan itu
tidak bisa diimbangi dengan kenikmatan-kenikmatan material apapun. Untuk itu
penekanan terhadap nafsu dengan meleburkan diri pada kemauan Tuhan, adalah
perbuatan utama. Perjalanan kaum sufi menuju Tuhan itu melairkan moral, moral
yang akhir dari para sufi itu benar-benar agamis, karena setiap tindakan
disejajarkan dengan ibadah yang lahir dari motifasi eskatologis. Dari sinilah
dalam rangkaian pendidikan rohani, kaum sufi mengarahkan konsentrasi pertamanya
kearah penguasaan nafsu duniawi dengan segala akses negative yang
ditimbulkannya melalui latihan yang berkelanjutan.[7]
Pada tahap ini para sufi berjuang keras
untuk dapat mengosongkan jiwa mereka dari segala sifat tercela. Sifat-sifat
tercela itu antara lain adalah:[8]
1)
Hasad
Hasad
dapat diartikan dengan membenci nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada orang
lain dengan harapan agar nikmat orang lain terhapus atau hilang.
Rosulullah
bersabda :
“Hasad
itu memakan kebaikan sebgaimana api memakan kayu bakar”
Allah
berfirman :
“adakah
(patut) mereka iri hati kepada manusia atas karunia yang telah diberikan Allah
kepada mereka ?”
Oleh
karena itu, bagi kaum sufi tidak ada kejahatan yang lebih berbahaya dari pada
hasad itu. Nikmat yang dimaksud diatas bisa berupa ilmu pengetahuan, harta
benda, disenangi orang maupun peranan dan kedudukan.
2) Hiqd
Menurut
imam Al-Ghazali, hiqd itu adalah keadaan hati yang terus menerus berat, marah
dan iri terhadap orang lain dan
menimbulkan dendam. Pada umumnya hiqd atau dendam itu muncul dari adanya
kemarahan yang terlalu dan terus dipendam, tapi ia juga bisa
timbul dari rasa iri yang sudah keterlaluan.
3) Su’
al-Dzann
Su’
al-Dzann adalah buruk sangka terhadap siapapun sangat dicela oleh agama, baik
buruk sangka terhadap Allah maupun buruk sangka terhadap manusia. Buruk sangka
merupakan sumber dari timbulnya berbagai kesalahpahaman yang pada gilirannya
akan dapat menjerumuskan kepada permusuhan dan perpecahan. Karena demikian
tercelanya buruk sangka itu, sehingga Allah melarangnya secra tegas dalam Al-Qur’an: “hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari buruk sangka, sesungguhnya sebagian dari buruk sangka itu adalah dosa dan
janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunnjing sebagian
yang lain. Sukalah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan betaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
menerima taubat lagi maha penyayang.”
4) Takabbur
Takabbur
adalah memandang rendah orang lain, dan menganggap tinggi atau muliya diri sendiri,
atau membesar-besarkan diri dihadapan orang lain. Sikap takabbur ini dapat
disebabkan oleh
Karena kekuasaaan, kekayaan, kepintaran (ilmu yang banyak), kecantikan,
kebangsawanan dan sebagainya.
5) Nifaq
Nifaq
artinya bermuka dua atau berpura-pura ia menjadi karakterisik orang munafik.
Sifat ini sangat
membahayakan kehidupan bersama, dapat mengacaukan orang banyak dan dapat
menjadikan
berantakan persaudraan.
6) Riya’
Riya’
adalah
memperlihatkan amal kebajikan, supaya
dilihat dan dipuji
orang lantaran amal tersebut.
Al Ghazali mengatakan bahwa riya’ itu semacam syirik yang reselubung, orang yang punya
sifat ini melakukanl suatu amal kebajikan untuk mendapatkan posisi dalam hati
manusia, agar dapat pujian, kemulyaan, dan kehormatan. Sifat ini dapat
menghapuskan nilai amal ibadah diakhirat kelak.
7) Bakhil
Bakhil
artinya kikir, yaitu keengganan atau ketidak sediaan untuk memberikan sebagian
hartanya kepada
pihak-pihak yang lain yang membutuhkan, seperti faqir miskin, kepentingan umum,
kegiatan-kegiatan sosial dan agama.
8) Ghadhab
Ghadhab
diartikan secara khusus sebagai marah atau kemaraahan dengan konotas negative
atau kelebihan sedangkan secra umum diartikan al-nafs, al-amaroh bi al-su’ yang
selau mendorong perbuatan jahat, sehingga mengakibatkan kerugian pada diri
sendiri dan orang lain.
9) Ghibah
Ghibah
dapat diartikan
dengan menggunjing atau menceritakan
segala sesuatu mengenai diri orang lain yang orang lain itu tidak menyukainya
apabila ia mengetahuinya. Islam melarang seseorang memilki sifat ghibah karena
hal itu sangat memungkinkan timbulnya fitnah, yang dengan fitnah itu rawan
munculnya kerusakan, permusuhan, petengkaran, bahkan pembunuhan. Karena itulah ghibah sangat dicela oleh
Islam.
10) Hub
al-dunya
Yang
dimaksudkan hub al-dunya adalah cinta terhadap dunia. Menurut kaum sufi sifat
ini adlah sifat yang paing membahayakan,
sebab cinta kepada dunia adalah penghalang bagi kaum sufi dalam berhubungan langsung dengan Tuhan.
11) Syarh
al-kalam
Syarh
al-kalam adalah banyak bicara yang tidak bermanfaat dan bukan mengenai
persoalan agama.Al Ghazali menerangkan
bahwa banyak bicara atau bicara secara berlebih-lebihan ini termasuk bahaya
lidah, seperti ikut campur terhadap perkataan yang tidak penting.
12) Namimah
Namimah
adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan mengadu
domba antar keduanya. Rosulllah bersabda : ”Tidak
masuk surge orang yang sengag mengadu domba”. (HR. Bukhari
dan Muslim dari huzaifah).
Langkah kedua setelah tahap takhalli
adalah tahalli. Dalam hal ini setelah kaum sufi melakukan pembersihan diri dari
segala sifat dan mental tidak baik, maka usaha mereka itu harus dilanjutkan
ketahap kedua yang disebut
tahalli. Pada
tahap ini, kaum sufi harus mneghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sifat tingkah laku yang baik, serta berusaha agar setiap tingkah lakunya selalu
berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar aupun yang
bersifat dalam. Yang dimaksud dengan aspek luar dlam hal ini adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat,
puasa, haji dan lainnya. Sedangkan
aspek dalam seperti iman ketaatan,
kecintaan kepada Tuhan dan lain-lain.
Tahap ini merupakan tahap pengisian jiwa
yang telah dikosongkan tadi.Apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera ada
penggantinya maka kekosogan
itu bisa menimbulkan frustasi. Setiap
kebiasan lama
yang ditinggalkan,
harus segera diisi dengan
suatu kebiasaan yang
baik. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan dia kebiasaan akan menimbulkan kepribadian. Menurut
Al Ghazali, jiwa manusia dapat dilatih, dapat kuasai, dapat diubah dan dapat
dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.[9]
Pada tahap tahalli ini, kaum sufi harus
berusaha seoptimal mungkin
untuk dapat mengisi diri mereka dengan sifat-sifta terpuji. Indikator dari sifat-sifat yang terpuji itu dalam Islam antara lain yaitu:[10]
1. Taubat
Tuhan
adalah maha suci, menyukai
yang suci serta hanya dapat didekati oleh orang yang suci pula. Karena itu jika seorang hamba ingin
mendekatkan diri kepada Tuhannya, maka mutlaq baginya untuk membersihkan dari
kotoran (dosa) tersebut.
2. Zuhud
Zuhud
diartikan sebagai keadaan meninggalakan dunia dan meninggalkan hidup kematerian. Sikap
tersebut biasanya
ditunjukkan lewat pengasian diri dengan melaksanakan serangkaian ibadah seperti
sholat, puasa, dzikir, membaca Al-qur’an serta ritual lainnya.
3. Khauf
Orang
sufi menamakan khauf atau takut kepada Allah itu merupakan perhiasaan diri
orang-orang sholeh. Abu amar al damisqhi menangatakan bahwa orang yang takut
ialah orang yang lebih takut kepada dirinya sendiri daripada orang lain.
4. Sabar
Pada
umumnya sabar sering diartikan sebagai keteguhan hati dalam menghadapi cobaan
dan kesulitan, serta keuletan meraih tujuan dan cita-cita. Sebenarnya kesabaran
tidak hanya diperlukan dalam menghadapi beragai kesulitan hidup, tetapi juga
dalam menghadapi berbagai kesenangan dan kemudahan-kemudahannya.
5. Syukur
Di
kalangan sufi terdapat beberapa pendapat mengenai syukur. Al Muhasibi
mengatakan bahwa syukur itu adalah tambahan yang diberikan oleh Tuhan kepada
orang yang bersyukur, artinya kalau seseorang iu bersyukur maka Tuhan akan
menambah Rahmat-Nya.
6. Ikhlas
Ikhlas
itu berarti bersih, tidak ada campuran, ibarat emas murni, tidak ada bercampur
beberapa persenpun. Al
Ghazali mengatakan bahwa ciri ikhlas ialah jika niat dan perbuatan seseorang
ditempat yang sepi tidak berubah ketika dia melakukan ditempat ramai.
7. Tawakal
Tawakal
itu berarti berserah diri, mempercayakan diri atau mewakilkan.Tawakal merupakan
sebuah sikap memutuskan segala bentuk hubungan dengan mengharapkan dari makhluk
untuk kemudian lebih mengikatkan dirinya secara mutlak kepada khaliq. Firman
Allah
“adakah
musyawaroh dengan mereka dalam beberapa urusan, dan bila engkau mempunyai
ketetapan hati, maka berserah dirilah kepada Allah”.
8. Ridha
Hamzah
ya’qub mengatakan bahwa ridha itu menyangkut dua hal.Pertama ridha menerima
peraturan (hukum) Allah yang dibebankan kepada manusia.Kedua ridha meerima
ketentuan tuhan tentang nasib yang mengenai diri.
9. Dzikr
al-maut
Dzikir
al-maut berarti ingata
akan mati, merupakan suatu sifta yang sagat terpuji. Dikatakan terpuji karena
dengan mengingat kematian, akan dapat memberikan motifasi kepada manusia yang
sadar akan berbuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya, baik merupakan ibadah,
muamalah, maupun muasyaroh yang baik
terhadap manusia.
Pemantapan dan
pendalaman materi yang telah dilakukan pada tahap tahalli, rangkaian pendidikanmental
spiritual itu harus disempurnakan pada langkah ketiga, yaitu tahap tajalli.
Tahap tajalli adalah tersingkapnya nur ghaib bagi hati manusia. Apabila jiwa manusia telah
terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan organ-organ tubuh sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan luhur, maka hasil yang telah diperoleh itu tidak
berkurang, dan perlu penghayatan rasa ketuhanan. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam, akan menumbuhkna
rasa rindu. Para sufi sepakat bahwa untuk mencapai tinkatan kesempurnaan dan
kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan
memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini barulah akan terbuka
jalan untuk menpunyai Tuhan.
Petualangan
yang dilakukan oleh para sufi agar bisa mencapai Tuhan atau bersatu dengan
Tuhan, merupakan usaha yang berat dan penuh duri, karenanya mebutuhkan waktu yang lama untuk mencapai.
Tahapan demi tahapan dalam metode para sufi, harus dilaluinya. Penyucian diri
diusahakan melalui ibadah, terutama puasa, sholat, membaca Al-Qur’an, dan
dzikir. Para sufi ditempa agar mampu mencapai tingkatan yang tertinggi. Bahkan
untuk menempuh jalan menuju Tuhan itu para sufi sering kali melahirkan sikap
hidup dan tingkah laku keagamaan yang jarang atau tidak dijumpai pada tingkah
laku keagamaan kebanyakan orang.[11]
Tahap tajalli
terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan yang disebut adalah:[12]
1)
Mahabbah
Mahabbah adalah cinta, maksudnya adalah cinta kepada
Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah (a) memeluk
kepatuhan kepada tuhan dan menbenci skap melawan kepada-Nya, (b) menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi, dan (c) mengosongkan hati dari
segala-galanya keculai dari diri yang dikasihi
2)
Makrifat
Dalam tasawuf makna makrifat sering diartikan sebagai
mengetahui Tuhan dari dekat atau mengetahui Tuhan dengan pengetahuan yang
berasal dari hati sanubari. Oleh karena itu dalam pandangan sufi bahwa makrifat
itu merupakan upaya mengenal tuhan secara langsung dengan tanpa disertai
perantara dan keraguan sedikitpun dan berdasarkan petunjuk dari Tuhan, maka
dapatlah dikatakan bahwa subyek dari makrifat itu adalah dzat ketuhanan, dan
sifat dari makrifat tersebut adalah ilham dari Tuhan, dan makrifat itu respon
dari Tuhan trhadap usaha seorang sufi didalam mencintai Tuhan.
3)
Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf dimana
sufi telah merasadirinya bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang
dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang
lain dengan “hai aku”.
4)
Hulul
Hulul merupakan istilah sufi seperti dikatakan oleh abu
nasr al tussi didalam al lumak adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan
5)
Wahdah
al wujud
Untuk memahami pengertian wahdad al wujud pertama harus
dipahami pengertian wahdad dan wujud. Istilah wahdah biasanya dipahami dengan
pengertian kesatuan sedangkan kata wujud adalah masdar dari kata wujida yang
berarti ditemukan.
C. PRINSIP-PRINSIP RIYADHOH SEOANG SALEK
Prinsip-prinsip riyadhah seorang salek
secara universal yaitu;
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu. Artinya bahwa prinsip utamanya adalah melaksanakan seluruh syariat yang ada sebagai metode dalam pembersihan jiwa, sehingga qalbu yang merupakan alat pengetahuan (lahum qulubun la yafqahuna biha) bisa teraktualkan. bahwa alam eksternal ini memiliki hakekat yang satu. Ada zahirnya dan ada batinnya, zahirnya menampakkan kemajemukan sedangkan batinnya menampakkan ketunggalan. maka seseorang lebih banyak berurusan dengan Ilmu kehadiran (ilmu hudhuri). Seseorang meyakini bahwa antara manusia dengan hakekat terjalin hubungan hudhuri dan syuhudi. seseorang itu meyakini konsep riyadhah dan mujahadah.
cinta adalah sebuah unsur yang paling hakiki dalam kehidupan seorang Arif.
Para Arif meyakini bahwa hakekat hakiki hanya satu yaitu Allah swt.[13]
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu. Artinya bahwa prinsip utamanya adalah melaksanakan seluruh syariat yang ada sebagai metode dalam pembersihan jiwa, sehingga qalbu yang merupakan alat pengetahuan (lahum qulubun la yafqahuna biha) bisa teraktualkan. bahwa alam eksternal ini memiliki hakekat yang satu. Ada zahirnya dan ada batinnya, zahirnya menampakkan kemajemukan sedangkan batinnya menampakkan ketunggalan. maka seseorang lebih banyak berurusan dengan Ilmu kehadiran (ilmu hudhuri). Seseorang meyakini bahwa antara manusia dengan hakekat terjalin hubungan hudhuri dan syuhudi. seseorang itu meyakini konsep riyadhah dan mujahadah.
cinta adalah sebuah unsur yang paling hakiki dalam kehidupan seorang Arif.
Para Arif meyakini bahwa hakekat hakiki hanya satu yaitu Allah swt.[13]
D. POLA
HIDUP SUFI MENURUT BEBERAPA TOKOH
Pola hidup sufi menurut para tokoh-tokoh sufi:
·
Ibnu
Taimiyah
Pengertian sufi menurut Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang-orang yang memilih untuk
berpakaian wol (shuf) dan mengasingkan diri dari masyarakat dan
berkhalwat dalam berbagai padepokan dan pondok yang ada di dalam pegunungan
(daerah-daerah yang jauh dari masyarakat). Sebagaimana pengertian sufi yang
telah disebutka sebelumnya, terlihat jelas bahwa istilah sufi ada itu dinishbatkan
(disandarkan) pada kata shuf yang berarti wol dengan pengertian
sebagaimana yang telah disebutkan.[14]
·
Ibnu
Arabi
Dia merupakan salah seorang ulama’ sufi yang
terkenal dengan sentral ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat
al-wujud yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk
dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada
perbedaan. Dengan sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk
hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT. Dengan
ajaran seperti ini banyak pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran
tersebut.[15]
·
Rabi’ah
al adawiyah
Dia sejak kecil memiliki tanda-tanda kejuhudan, ketaqwaan
serta ke wira’an tanda-tanda itu telah tampak pada dirinya. Perwujudan cintanya
kepada Allah dengan cara dzikir, menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat,
memelihara sifat-sifat yang terpuji, berakhlakul karimah, berpenampilan
simpati, ia juga telah hafal al-qur’an sejak umur 10 tahun ia memiliki ingatan
yang kuat. [16]
·
Abdul Qadir Mahmud
Dia menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang
diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka
zuhud. Kata
Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif,
melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang
lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku
sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam
bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan
supranatural.
E.
IMPLEMENTASI
TERHADAP KEHIDUPAN TERUTAMA BAGI HIDUP KITA SENDIRI
Dari pelajaran
kehidupan para sufi tersebut dapat kita implementasikan bagi kehidupan kita masing-masing.
dalam mengimplementasikan dalam kehidupan kita masing-masing kita harus
memperhatikandua hal brikut ini:
Yang
pertama adalah pada tataran teorinya yang mendasarinya, Di sini kita harus benar-benar berpegang
pada firman Allah:‘QS. Ad Dzariyaat: 56 :
“Dan
tidaklah kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepadaku”.
Jadi pada hakekatnya kita melakukan
aktifitas kehidupan adalah dalam rangkaberibadah
kepada Allah. Untuk bisa mencapai maksud
tersebut kita niatkan segala amal kita untuk mencapai ridho Allah.
“Sesunguhnya setiap amal adalah tergantung
niatnya….” (HR Buchari).
Lalu pada
tataran prakteknya, kita benar-benar berpegang haditsnya Rasullulah :
“Apa-apa yang telah kami larang
untukmu, maka jauhilah dan apa-apa yang telah kami perintahkan kepadamu, maka
kerjakanlah sebisamu. Celakanya orang-orang sebelum kamu
adalah karena banyak pertanyaan dan perselisihan terhadap nabi-nabi mereka
(tidak mau taat dan patuh).”
(HR Buchari – Muslim)
Dengan demikian insyaAllah dengan
sendirinya cara hidup mereka itu terimplementasi dalam kehidupan kita tanpa
bertentangan dengan keseharian kita, karena itu masih dalam kerangka ibadah
kepada Allah. Sebagai contoh:
Kita bekerja menghidupi keluarga-bukankah ini juga Allah perintahkan?,
tinggal bagaimana kita meniatkannya, berarti ini adalah ibadah kita. Dan ibadah
itu baru akan diterima kalau benar dalam niat dan pelaksanaan. Jadi akan
menjadi implementasi keimanan kita kalau kita benar-benar menjaga kehalalannya,
dan menjauhi hal-hal yang bisa membatalkan nilai ibadahnya, misal korupsi,
curang terhadap kolega, suap, dsb. Kemudian setelah dapat gaji, itupun akan
diterima sebagai ibadah jika kita laksanakan hak harta yang kita terima yaitu zakat dan infaq. dengan
begitu kita hidup semata-mata bukan hanya karena untuk mencari harta dan jatuh
dalam gemerlapnya dunia.[17]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
·
Pola
hidup ini memotivasi lahirnya hidup zuhud, motivasi lahirnya pola hidup zuhud
ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh.
·
Dalam dunia tasawuf, agar para sufi atau
calon sufi dapat enjadi manusia sempurna dan akhirnya dapat bersatu dengan
tuhan, mereka melakukan cara atau metode kesufian. Metode yang digunakan para
sufi atau calon sufi pada umumnya adalah : takhalli, tahalli, dan tajalli.
·
Prinsip – prinsip riyadhah seorang salek
secara universal yaitu ;
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu.
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu.
·
Implementasi bagi kehidupan kita setelah
kita mempelajari materi tersebut yaitu janganlah kita bekerja hanya untuk
kepentingan dunia saja, minimal kita harus bisa menyeimbsangkan antara
kehidupan dunia dan akhirat.
B. KRITIK
·
Dalam kehidupanglobal ini banyak
penemuan-penemuan teknologi yang cangih namun efeknya sangat tak terduga bagi
kehidupan kita.
·
Penyalah gunaan IPTEK semakin meraja
lela.
·
Pola hidup matrealistik semakin marak.
·
Kebanyakan orang masih saja menghalalkan
segala cara untuk mencapai keinginanya.
C. SARAN
·
Dengan banyaknya IPTEK dikehidupan
global ini seharusnya dapat mempertebal/memperkuat keimanan kita.
·
Seharusnya kita dapat memanfaatkan IPTEK
dengan sebaik mungkin.
·
Dengan mempelajari kehidupan sufi di atas
seharusnya kita dapat mengambil banyak hikmahnya. Paling tidak kita bisa
meminimalisir kehidupan yang serba matrealistik.
·
Seharusnya kita dapat mengkaji lebih
dalam tentang kehidupan para sufi sehingga dalam bertindak kita tidak
menghalalkan segala cara.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmaran, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Juli 2002
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatra Utara
Fu’adi, imam, menuju kehidupan sufi, Jakarta: PT
Bina Ilmu, 2004
Zaki
Ibrahim, Muhammad, Tasawuf Hitam Putih Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2004
[1]http://.co.id/category/tajuk/nasinal/
[2]Asmaran,
pengantar studi tasawuf,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.256
[3]
http://citrariski.blogspot.com/2011/02/makalah-tasawuf-ibnu-arabi.html
[4]
http://www.g.excess.com/
[6] Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf
Hitam
Putih (solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004) hlm. 112
[13] http://asadiku.wordpress.com/
[15] ibid
[17]
http://id.wordpress.com/tag/pasca-abad-3h/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar