Selasa, 24 Januari 2012

Makalah Pola Hidup Sufi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pola hidup sufi dimaksutkan sebagai agar seorang tidak terpengaruh atau tidak tergantung hatinya kepada berbagai hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut dunia, sehingga betapapun banyaknya harta yang kita miliki, tidak menyebabkan ia gandrung dan tenggelam dalam gemerlapnya sehingga ia melalaikan dirinya dalam mengabdi kepada Tuhan-Nya.[1] Pola hidup ini memotivasi lahirnya hidup zuhud, motivasi lahirnya pola hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.[2]
Banyak qaul  atau pendapat yang membicarakan dan membahas mengenai istilah sufi, apa pengertiannya dan bagaimana konsep keluruhannya secara harfiah maupun secara ma’nawi. Sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu tasawuf, tertuang beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan dalam dalam hal ini orang yang menjalankan ajaran-ajaran atau cara-cara dalam tasawuf maka mereka itulah yag disebut sufi. Sebagian berpendapat seorang sufi adalah mereka yang selalu berpakaian putih dan aktif atau rajin serta mengutamakan kegiatan beribadah kepada Allah SWT dibandingakan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya kegiatan yang masih berhubungan dengan hal-hal yang berbau duniawi.
Secara lugas sufi adalah seseorang yang mendalami tentang ajaran Tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana mensucikan hati”.  Untuk kearah itu maka seseorang yang mempelajari Tasawuf (Sufi) berpendapat bahwa dirinya haruslah dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam Tawakal (penyerahan diri secara total kepada Allah). Dengan demikian menurut beberapa ulama tasawuf seorang sufi bisa dikatakan sufi jika bisa melewati beberapa tahapan tertentu dalam beribadah kepada Allah seperti:  mahabah, makrifat dan seterusnya.[3]
Arti kata zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat.
Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:
1.    Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2.    Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3.    Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi).
Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:
1.    Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2.    Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakhiratan.
3.    Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya
Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah.[4]
Dewasa ini, kehidupan manusia tengah ada dalam dinamika moderitas yang ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serba mekanik dan otomatis. Hal tersebut berdampak dalam hidup dan kehidupan yang semakin mudah. Banyak fasilitas hidup yang ditemukan mulai dari sarana pemenuhan kehidupan sehari-hari, alat transportasi, komunikasi, sarana hiburan dan lain sebagainya. Kecanggihan ini membuat manusia lenggah sehingga dimensi terdistorsi. Kita menyaksikan ketercerabutannya akar sepiritual dari panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya oleh pola hidup yang dilayani perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih. Ditengah goncahnya kehidupan global tersebut, berdapat fenomena pada kelompok social tertentu yang terperangkap keterasingan, yang dalam bahasa sociologi disebut alienasi, atau dalam dalam bahasa rollo may disebut dengan “manusia dalam kerangkeng”, satu istilah yang mengambarkan derita manusia modern.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana pengertian dari pada pola hidup sufi?
2.         Apa saja tahap-tahapan yang membentuk pola hidup sufi?
3.         Apa saja prinsip-prinsip riyadhah seorang salek?
4.         Bagaimana pola hidup sufi menurut beberapa tokoh?
5.         Bagaiman implementasi terhadap kehidupan terutama bagi kehidupan kita sendiri?

C.    TUJUAN MASALAH
1.     Untuk megetahui  pengertian dari pada pola hidup sufi
2.     Untuk mengetahui Apa saja tahap-tahapan untuk  membentuk pola hidup sufi
3.     Untuk mengetahui Apa saja prinsip-prinsip riyadhah seorang salek
4.     Untuk mengetahui Bagaimana pola hidup sufi menurut beberapa tokoh
5.     Untuk mengetahui Bagaiman implementasi terhadap kehidupan terutama bagi kehidupan kita sendiri











BAB II
PEMBAHASAN

A.   MAKNA POLA HIDUP SUFI
Pola hidup sufi yaitu menempuh (jalan) yaitu jalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diajarkan oleh seorang mursyid atau guru, (al-suluk).[5] Dengan demikian, seorang sufi adalah tipe seorang muslim yang menjadi contoh bagi nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, menjadi kumpulan bintang kehidupan yang penuh dengan ketekunan dan kesungguhan, amal rohani, dan peradapan yang langgeng. Seorang sufi hidup dengan badan beserta budi pekerti dan jiwa beserta hakikat kebenaran. Hal ini terlihat adanya pemisah (antara ia dan dia) dalam tutur katanya, tetapi satu dalam relung hatinya. Ia mengetahui bahwa perbuatan yang disertai dengan kelalaian lebih baik dari pada lalai dari berbuat.[6]

B.     TAHAPAN-TAHAPANNYA MEMBENTUK POLA HIDUP SUFI
Dalam dunia tasawuf, agar para sufi atau calon sufi dapat enjadi manusia sempurna dan akhirnya dapat bersatu dengan tuhan, mereka melakukan cara atau metode kesufian. Metode yang digunakan para sufi atau calon sufi pada umumnya adalah : takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus ditempuh para sufi. Dalam langkah awal ini seorang sufi berusaha keras mengosongkan dirinya dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari segala kemaksiatan dalam berbagai bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan-dorongan hawa nafsu, karena hawa nafsu itulah yang menjadi penyebab utama dari segala sifat yang tidak baik. Bagi mereka, dunia ini merupakan penghambat kelangsungan cita-cita mereka. Dunia adalah penghalang perjalanan, karena itu nafsu yang bertendensi dunawi harus dimatikan atau ditekan sekuat-kuatnya agar mereka bebas berjalan menuju tujuan, yaitu mencapai spiritual hakiki. Bagi mereka,  memperoleh keridhoan Tuhan itu tidak bisa diimbangi dengan kenikmatan-kenikmatan material apapun. Untuk itu penekanan terhadap nafsu dengan meleburkan diri pada kemauan Tuhan, adalah perbuatan utama. Perjalanan kaum sufi menuju Tuhan itu melairkan moral, moral yang akhir dari para sufi itu benar-benar agamis, karena setiap tindakan disejajarkan dengan ibadah yang lahir dari motifasi eskatologis. Dari sinilah dalam rangkaian pendidikan rohani, kaum sufi mengarahkan konsentrasi pertamanya kearah penguasaan nafsu duniawi dengan segala akses negative yang ditimbulkannya melalui latihan yang berkelanjutan.[7]
Pada tahap ini para sufi berjuang keras untuk dapat mengosongkan jiwa mereka dari segala sifat tercela. Sifat-sifat tercela itu antara lain adalah:[8]
1)        Hasad
Hasad dapat diartikan dengan membenci nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada orang lain dengan harapan agar nikmat orang lain terhapus atau hilang.
Rosulullah bersabda :
“Hasad itu memakan kebaikan sebgaimana api memakan kayu bakar”
Allah berfirman :
“adakah (patut) mereka iri hati kepada manusia atas karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka ?”
Oleh karena itu, bagi kaum sufi tidak ada kejahatan yang lebih berbahaya dari pada hasad itu. Nikmat yang dimaksud diatas bisa berupa ilmu pengetahuan, harta benda, disenangi orang maupun peranan dan kedudukan.
2)      Hiqd
Menurut imam Al-Ghazali, hiqd itu adalah keadaan hati yang terus menerus berat, marah dan iri terhadap orang lain dan menimbulkan dendam. Pada umumnya hiqd atau dendam itu muncul dari adanya kemarahan yang terlalu dan terus dipendam, tapi ia juga bisa timbul dari rasa iri yang sudah keterlaluan.
3)      Su’ al-Dzann
Su’ al-Dzann adalah buruk sangka terhadap siapapun sangat dicela oleh agama, baik buruk sangka terhadap Allah maupun buruk sangka terhadap manusia. Buruk sangka merupakan sumber dari timbulnya berbagai kesalahpahaman yang pada gilirannya akan dapat menjerumuskan kepada permusuhan dan perpecahan. Karena demikian tercelanya buruk sangka itu, sehingga Allah melarangnya secra tegas dalam Al-Quran: “hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari buruk sangka, sesungguhnya sebagian dari buruk sangka itu adalah dosa dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan  janganlah sebagian kamu menggunnjing sebagian yang lain. Sukalah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan betaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang.”
4)      Takabbur
Takabbur adalah memandang rendah orang lain, dan menganggap tinggi atau muliya diri sendiri, atau membesar-besarkan diri dihadapan orang lain. Sikap takabbur ini dapat disebabkan oleh Karena kekuasaaan, kekayaan, kepintaran (ilmu yang banyak), kecantikan, kebangsawanan dan sebagainya.
5)      Nifaq
Nifaq artinya bermuka dua atau berpura-pura ia menjadi karakterisik orang munafik. Sifat ini sangat membahayakan kehidupan bersama, dapat mengacaukan orang banyak dan dapat menjadikan berantakan persaudraan.
6)      Riya’
Riya’ adalah memperlihatkan amal kebajikan, supaya dilihat dan dipuji orang lantaran amal tersebut. Al Ghazali mengatakan bahwa riya’ itu semacam syirik yang reselubung, orang yang punya sifat ini melakukanl suatu amal kebajikan untuk mendapatkan posisi dalam hati manusia, agar dapat pujian, kemulyaan, dan kehormatan. Sifat ini dapat menghapuskan nilai amal ibadah diakhirat kelak.
7)      Bakhil
Bakhil artinya kikir, yaitu keengganan atau ketidak sediaan untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak-pihak yang lain yang membutuhkan, seperti faqir miskin, kepentingan umum, kegiatan-kegiatan sosial dan agama.
8)      Ghadhab
Ghadhab diartikan secara khusus sebagai marah atau kemaraahan dengan konotas negative atau kelebihan sedangkan secra umum diartikan al-nafs, al-amaroh bi al-su’ yang selau mendorong perbuatan jahat, sehingga mengakibatkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain.

9)      Ghibah
Ghibah dapat diartikan dengan menggunjing atau menceritakan segala sesuatu mengenai diri orang lain yang orang lain itu tidak menyukainya apabila ia mengetahuinya. Islam melarang seseorang memilki sifat ghibah karena hal itu sangat memungkinkan timbulnya fitnah, yang dengan fitnah itu rawan munculnya kerusakan, permusuhan, petengkaran, bahkan pembunuhan. Karena itulah ghibah sangat dicela oleh Islam.
10)  Hub al-dunya
Yang dimaksudkan hub al-dunya adalah cinta terhadap dunia. Menurut kaum sufi sifat ini adlah sifat yang paing membahayakan, sebab cinta kepada dunia adalah penghalang bagi kaum sufi dalam berhubungan langsung dengan Tuhan.
11)  Syarh al-kalam
Syarh al-kalam adalah banyak bicara yang tidak bermanfaat dan bukan mengenai persoalan agama.Al Ghazali menerangkan bahwa banyak bicara atau bicara secara berlebih-lebihan ini termasuk bahaya lidah, seperti ikut campur terhadap perkataan yang tidak penting.
12)  Namimah
Namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba antar keduanya. Rosulllah bersabda : ”Tidak masuk surge orang yang sengag mengadu domba”. (HR. Bukhari dan Muslim dari huzaifah).
Langkah kedua setelah tahap takhalli adalah tahalli. Dalam hal ini setelah kaum sufi melakukan pembersihan diri dari segala sifat dan mental tidak baik, maka usaha mereka itu harus dilanjutkan ketahap kedua yang disebut tahalli. Pada tahap ini, kaum sufi harus mneghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat tingkah laku yang baik, serta berusaha agar setiap tingkah lakunya selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar aupun yang bersifat dalam. Yang dimaksud dengan aspek luar dlam hal ini adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, haji dan lainnya. Sedangkan aspek dalam seperti iman ketaatan, kecintaan kepada Tuhan dan lain-lain.

Tahap ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi.Apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera ada penggantinya maka kekosogan itu bisa menimbulkan frustasi. Setiap kebiasan lama yang ditinggalkan, harus segera diisi dengan suatu kebiasaan yang baik. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan dia kebiasaan akan menimbulkan kepribadian. Menurut Al Ghazali, jiwa manusia dapat dilatih, dapat kuasai, dapat diubah dan dapat dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.[9]
Pada tahap tahalli ini, kaum sufi harus berusaha seoptimal mungkin untuk dapat mengisi diri mereka dengan sifat-sifta terpuji. Indikator dari sifat-sifat yang terpuji itu dalam Islam antara lain yaitu:[10]
1.      Taubat
Tuhan adalah maha suci, menyukai yang suci serta hanya dapat didekati oleh orang yang suci pula. Karena itu jika seorang hamba ingin mendekatkan diri kepada Tuhannya, maka mutlaq baginya untuk membersihkan dari kotoran (dosa) tersebut.
2.      Zuhud
Zuhud diartikan sebagai keadaan meninggalakan dunia dan meninggalkan hidup  kematerian. Sikap tersebut biasanya ditunjukkan lewat pengasian diri dengan melaksanakan serangkaian ibadah seperti sholat, puasa, dzikir, membaca Al-quran serta ritual lainnya.
3.      Khauf
Orang sufi menamakan khauf atau takut kepada Allah itu merupakan perhiasaan diri orang-orang sholeh. Abu amar al damisqhi menangatakan bahwa orang yang takut ialah orang yang lebih takut kepada dirinya sendiri daripada orang lain.
4.      Sabar
Pada umumnya sabar sering diartikan sebagai keteguhan hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, serta keuletan meraih tujuan dan cita-cita. Sebenarnya kesabaran tidak hanya diperlukan dalam menghadapi beragai kesulitan hidup, tetapi juga dalam menghadapi berbagai kesenangan dan kemudahan-kemudahannya.

5.      Syukur
Di kalangan sufi terdapat beberapa pendapat mengenai syukur. Al Muhasibi mengatakan bahwa syukur itu adalah tambahan yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang bersyukur, artinya kalau seseorang iu bersyukur maka Tuhan akan menambah Rahmat-Nya.
6.      Ikhlas
Ikhlas itu berarti bersih, tidak ada campuran, ibarat emas murni, tidak ada bercampur beberapa persenpun. Al Ghazali mengatakan bahwa ciri ikhlas ialah jika niat dan perbuatan seseorang ditempat yang sepi tidak berubah ketika dia melakukan ditempat ramai.
7.      Tawakal
Tawakal itu berarti berserah diri, mempercayakan diri atau mewakilkan.Tawakal merupakan sebuah sikap memutuskan segala bentuk hubungan dengan mengharapkan dari makhluk untuk kemudian lebih mengikatkan dirinya secara mutlak kepada khaliq. Firman Allah
“adakah musyawaroh dengan mereka dalam beberapa urusan, dan bila engkau mempunyai ketetapan hati, maka berserah dirilah kepada Allah”.
8.      Ridha
Hamzah ya’qub mengatakan bahwa ridha itu menyangkut dua hal.Pertama ridha menerima peraturan (hukum) Allah yang dibebankan kepada manusia.Kedua ridha meerima ketentuan tuhan tentang nasib yang mengenai diri.
9.      Dzikr al-maut
Dzikir al-maut berarti ingata akan mati, merupakan suatu sifta yang sagat terpuji. Dikatakan terpuji karena dengan mengingat kematian, akan dapat memberikan motifasi kepada manusia yang sadar akan berbuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya, baik merupakan ibadah, muamalah, maupun muasyaroh yang baik terhadap manusia.
Pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilakukan pada tahap tahalli, rangkaian pendidikanmental spiritual itu harus disempurnakan pada langkah ketiga, yaitu tahap tajalli. Tahap tajalli adalah tersingkapnya nur ghaib bagi hati manusia. Apabila jiwa manusia telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan organ-organ tubuh sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan luhur, maka hasil yang telah diperoleh itu tidak berkurang, dan perlu penghayatan rasa ketuhanan. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam, akan menumbuhkna rasa rindu. Para sufi sepakat bahwa untuk mencapai tinkatan kesempurnaan dan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini barulah akan terbuka jalan untuk menpunyai Tuhan. 
Petualangan yang dilakukan oleh para sufi agar bisa mencapai Tuhan atau bersatu dengan Tuhan, merupakan usaha yang berat dan penuh duri, karenanya  mebutuhkan waktu yang lama untuk mencapai. Tahapan demi tahapan dalam metode para sufi, harus dilaluinya. Penyucian diri diusahakan melalui ibadah, terutama puasa, sholat, membaca Al-Qur’an, dan dzikir. Para sufi ditempa agar mampu mencapai tingkatan yang tertinggi. Bahkan untuk menempuh jalan menuju Tuhan itu para sufi sering kali melahirkan sikap hidup dan tingkah laku keagamaan yang jarang atau tidak dijumpai pada tingkah laku keagamaan kebanyakan orang.[11]
Tahap tajalli terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan yang disebut adalah:[12]
1)        Mahabbah
Mahabbah adalah cinta, maksudnya adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah (a) memeluk kepatuhan kepada tuhan dan menbenci skap melawan kepada-Nya, (b) menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan (c) mengosongkan hati dari segala-galanya keculai dari diri yang dikasihi
2)      Makrifat
Dalam tasawuf makna makrifat sering diartikan sebagai mengetahui Tuhan dari dekat atau mengetahui Tuhan dengan pengetahuan yang berasal dari hati sanubari. Oleh karena itu dalam pandangan sufi bahwa makrifat itu merupakan upaya mengenal tuhan secara langsung dengan tanpa disertai perantara dan keraguan sedikitpun dan berdasarkan petunjuk dari Tuhan, maka dapatlah dikatakan bahwa subyek dari makrifat itu adalah dzat ketuhanan, dan sifat dari makrifat tersebut adalah ilham dari Tuhan, dan makrifat itu respon dari Tuhan trhadap usaha seorang sufi didalam mencintai Tuhan. 
3)      Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf dimana sufi telah merasadirinya bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan “hai aku”.
4)      Hulul
Hulul merupakan istilah sufi seperti dikatakan oleh abu nasr al tussi didalam al lumak adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan
5)      Wahdah al wujud
Untuk memahami pengertian wahdad al wujud pertama harus dipahami pengertian wahdad dan wujud. Istilah wahdah biasanya dipahami dengan pengertian kesatuan sedangkan kata wujud adalah masdar dari kata wujida yang berarti ditemukan.

C.    PRINSIP-PRINSIP RIYADHOH SEOANG SALEK
Prinsip-prinsip riyadhah seorang salek secara universal yaitu;
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu. Artinya bahwa prinsip utamanya adalah melaksanakan seluruh syariat yang ada sebagai metode dalam pembersihan jiwa, sehingga qalbu yang merupakan alat pengetahuan (lahum qulubun la yafqahuna biha) bisa teraktualkan. bahwa alam eksternal ini memiliki hakekat yang satu. Ada zahirnya dan ada batinnya, zahirnya menampakkan kemajemukan sedangkan batinnya menampakkan ketunggalan. maka seseorang  lebih banyak berurusan dengan Ilmu kehadiran (ilmu hudhuri). Seseorang  meyakini bahwa antara manusia dengan hakekat terjalin hubungan hudhuri dan syuhudi. seseorang itu  meyakini konsep riyadhah dan mujahadah.
cinta adalah sebuah unsur yang paling hakiki dalam kehidupan seorang Arif.
Para Arif meyakini bahwa hakekat hakiki hanya satu yaitu Allah swt.[13]


D.       POLA HIDUP SUFI MENURUT BEBERAPA TOKOH
Pola hidup sufi menurut para tokoh-tokoh sufi:
·         Ibnu Taimiyah
Pengertian sufi menurut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang-orang yang memilih untuk berpakaian wol (shuf) dan mengasingkan diri dari masyarakat dan berkhalwat dalam berbagai padepokan dan pondok yang ada di dalam pegunungan (daerah-daerah yang jauh dari masyarakat). Sebagaimana pengertian sufi yang telah disebutka sebelumnya, terlihat jelas bahwa istilah sufi ada itu dinishbatkan (disandarkan) pada kata shuf yang berarti wol dengan pengertian sebagaimana yang telah disebutkan.[14]
·         Ibnu Arabi
Dia merupakan salah seorang  ulama’ sufi yang terkenal dengan sentral ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat al-wujud  yang bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan. Dengan sang Khalik sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT. Dengan ajaran seperti ini banyak pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut.[15]
·         Rabi’ah al adawiyah  
Dia sejak kecil memiliki tanda-tanda kejuhudan, ketaqwaan serta ke wira’an tanda-tanda itu telah tampak pada dirinya. Perwujudan cintanya kepada Allah dengan cara dzikir, menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat, memelihara sifat-sifat yang terpuji, berakhlakul karimah, berpenampilan simpati, ia juga telah hafal al-qur’an sejak umur 10 tahun ia memiliki ingatan yang kuat. [16]
·         Abdul Qadir Mahmud
Dia menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.

E.    IMPLEMENTASI TERHADAP KEHIDUPAN TERUTAMA BAGI HIDUP KITA SENDIRI
Dari pelajaran kehidupan para sufi tersebut dapat kita implementasikan bagi kehidupan kita masing-masing. dalam mengimplementasikan dalam kehidupan kita masing-masing kita harus memperhatikandua hal brikut ini:
Yang pertama adalah pada tataran teorinya yang mendasarinya, Di sini kita harus benar-benar berpegang pada firman Allah:‘QS. Ad Dzariyaat: 56 :
“Dan tidaklah kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepadaku”.
Jadi pada hakekatnya kita melakukan aktifitas kehidupan adalah dalam rangkaberibadah  kepada Allah. Untuk bisa mencapai maksud tersebut kita niatkan segala amal kita untuk mencapai ridho Allah.
 “Sesunguhnya setiap amal adalah tergantung niatnya….” (HR Buchari).
Lalu pada tataran prakteknya, kita benar-benar berpegang haditsnya Rasullulah :
“Apa-apa yang telah kami larang untukmu, maka jauhilah dan apa-apa yang telah kami perintahkan kepadamu, maka kerjakanlah sebisamu. Celakanya orang-orang sebelum kamu adalah karena banyak pertanyaan dan perselisihan terhadap nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh). (HR Buchari – Muslim)
Dengan demikian insyaAllah dengan sendirinya cara hidup mereka  itu terimplementasi dalam kehidupan kita tanpa bertentangan dengan keseharian kita, karena itu masih dalam kerangka ibadah kepada Allah. Sebagai contoh:
Kita bekerja menghidupi keluarga-bukankah ini juga Allah perintahkan?, tinggal bagaimana kita meniatkannya, berarti ini adalah ibadah kita. Dan ibadah itu baru akan diterima kalau benar dalam niat dan pelaksanaan. Jadi akan menjadi implementasi keimanan kita kalau kita benar-benar menjaga kehalalannya, dan menjauhi hal-hal yang bisa membatalkan nilai ibadahnya, misal korupsi, curang terhadap kolega, suap, dsb. Kemudian setelah dapat gaji, itupun akan diterima sebagai ibadah jika kita laksanakan hak harta yang kita terima yaitu zakat dan infaq. dengan begitu kita hidup semata-mata bukan hanya karena untuk mencari harta dan jatuh dalam gemerlapnya dunia.[17]
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
·           Pola hidup ini memotivasi lahirnya hidup zuhud, motivasi lahirnya pola hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
·           Dalam dunia tasawuf, agar para sufi atau calon sufi dapat enjadi manusia sempurna dan akhirnya dapat bersatu dengan tuhan, mereka melakukan cara atau metode kesufian. Metode yang digunakan para sufi atau calon sufi pada umumnya adalah : takhalli, tahalli, dan tajalli.
·           Prinsip – prinsip riyadhah seorang salek secara universal yaitu ;
dalam prinsip riyadhah seorang salek, titik yang paling fundamental terdapat pada qalbu.
·           Implementasi bagi kehidupan kita setelah kita mempelajari materi tersebut yaitu janganlah kita bekerja hanya untuk kepentingan dunia saja, minimal kita harus bisa menyeimbsangkan antara kehidupan dunia dan akhirat.

B.     KRITIK
·        Dalam kehidupanglobal ini banyak penemuan-penemuan teknologi yang cangih namun efeknya sangat tak terduga bagi kehidupan kita.
·        Penyalah gunaan IPTEK semakin meraja lela.
·        Pola hidup matrealistik semakin marak.
·        Kebanyakan orang masih saja menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginanya.

C.    SARAN
·           Dengan banyaknya IPTEK dikehidupan global ini seharusnya dapat mempertebal/memperkuat keimanan kita.
·           Seharusnya kita dapat memanfaatkan IPTEK dengan sebaik mungkin.
·           Dengan mempelajari kehidupan sufi di atas seharusnya kita dapat mengambil banyak hikmahnya. Paling tidak kita bisa meminimalisir kehidupan yang serba matrealistik.
·           Seharusnya kita dapat mengkaji lebih dalam tentang kehidupan para sufi sehingga dalam bertindak kita tidak menghalalkan segala cara. 



























DAFTAR PUSTAKA

Asmaran, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2002

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatra Utara

Fu’adi, imam, menuju kehidupan sufi, Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004






Zaki Ibrahim, Muhammad, Tasawuf  Hitam Putih Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004
*


[1]http://.co.id/category/tajuk/nasinal/
[2]Asmaran, pengantar studi tasawuf,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm.256
[3] http://citrariski.blogspot.com/2011/02/makalah-tasawuf-ibnu-arabi.html
[4] http://www.g.excess.com/
[5]Asmaran, pengantar studi tasawuf (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, juli 2002) hlm. 396
[6] Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf  Hitam Putih (solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004) hlm. 112
[7]Imam Fu’adi, menuju kehidupan sufi, (Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004), hlm. xiii
[8]Ibid, hlm. 23-36
[9]Ibid, hlm. xiv
[10]Ibid, hlm. 39-49
[11]Ibid, hlm. xiv-xv
[12] Ibid, hlm. 52-61
[13] http://asadiku.wordpress.com/
[14] http://citrariski.blogspot.com/2011/02/makalah-tasawuf-ibnu-arabi.html
[15] ibid
[16] e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatra Utara
[17] http://id.wordpress.com/tag/pasca-abad-3h/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar