Selasa, 19 April 2011

Filsafat Positivisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh dari hukum-hukum alam, yang digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri yang sangat egoistis dan mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga kita pun merasakan betapa banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etika hubungan kita yang humanis dengan tiga kompenen relasional hidup kita sudah terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa mendatang akan tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam.
Makalah ini kami susun berdasarkan Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum, dengan sub bahasan “ Filsafat Positifisme ”. Makalah ini dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran para folosof aliran positivisme.

1.2      Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memaparkan perkembangan-perkembangan filsafat modern pada saat lahirnya filsafat positifisme. Dan agar pembaca mengetahui seperti apakah pemikiran-pemikiran para filosof yang beraliran positivisme.




1.3     Rumusan Masalah
1.3.1        Bagaimana pemikiran-pemikiran fungsional para filosof positivisme ?
1.3.2        Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam filsafat positivisme ?
1.3.3        Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam filsafat positivisme ?

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Positivisme
            Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metefisikanya ditolak.
            Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yabg tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.

2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat Positivisme
            a). Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
            Ia adalah orang yang menokohi munculnya aliran positivisme. Ia lahir di Hontpeller, Perancis. Sebuah karya penting “ Cours de Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif), ini berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan experiment. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat experiment-experiment memerlukan ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dsb. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas. Ketika panas kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
            Jadi pada dasarnya positifisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positifisame itu sama dengan empirisme plot rasionalisme. Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniyah, sedangkan pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.
            b). H. Taine ( 1828 – 1893 )
            Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
            c). Emile Durkheim ( 1852 – 1917 )
            Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
            d). John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
            Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.

2.3 Tahapan-Tahapan pada Positivisme
            Menurut Auguste Comte, perkembangan perkembangan pikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui 3 tahapan, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah / positif.


            a). Tahap Teologis
            Tahap dimana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrasi yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
            Tahap Teologis ini dibagi menjadi 3 periode :
·        Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (Animisme)
·        Periode kedua di mana manusia percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
·        Periode ketiga manusia percaya pada satu  Alloh sebagai Yang Maha Kuasa (Monoteisme).
b). Tahap Metafisis
Hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang terjadi bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak yang diintrogasikan dengan alam.
c). Tahap Ilmiah / Positif
Yaitu ketika orang tidaklagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapati dari pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di baeah satu fakta yang umum saja.
Hukum 3 tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tahap perorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah teologi, sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai seorang dewasa adalah seorang fisikus.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga yang satu selalu mengandalkan semua ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte menemoatkan deretan ilmu pengetahuan dengan urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika, bioligi, dan sosiologi.
Auguste Comte berkayakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah :
ü    Pertama, Tahapan Agama dan Ketuhanan
Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan.
ü    Tahapan kedua adalah Tahapan Filsafat
Menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiolen, esensi dan akstensi.
ü    Positifisme sebagai tahapan ketiga
Menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada hakikatnya Positifisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif.
Di negeri Perancis, telah muncul aliran baru, yaitu "positivisme", yang ditikohi oleh Auguste Comte (1798 – 1857).  Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdioan ilmu yang positif, yaitu matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat kita alami, dan sebaliknya orang bersikap tidak tahu menahu.
Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah tingkatan teologi, yang menerangkan segala sesuatu dengan pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkatan kedua adalah tingkatan metafisika, yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah ditentukan.
Tokoh-tokoh dalam positivisme antara lain adalah H.Taine (1828 – 1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan. Emile Durkheim (1858 – 1917), yang mengaggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart Mill (1806 – 1873), seorang filosof  Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa
Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta : Gramedia
Bertens, K. 1973. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta : Kanisius
Suhartoni, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta : Ar-Ruzz
http://staff.blog.ac.id

Senin, 18 April 2011

Models of Educational Research


PEMBAHASAN



Secara garis besar, pembahasan pada bagian ini lebih difokuskan pada pertama, penelitian agama dan kedua, model-model penelitian agama. Kemudian dalam konteks ini, pembahasan penelitian agama diisi dengan penjelasan tentang kedudukan penelitian agama dalam konteks penelitian pada umumnya, kemudian dilakukan elaborasi mengenai penelitian agama, penelitian keagamaan dan konstruksi teori penelitian keagama dan pada bagian akhir akan dibahas model-model penelitian keagamaan.

2.1 Penelitian dan Penelitian Agama

a. Hasrat Ingin Tahu Manusia, Mencari kebenaran dan Penelitian
Hasrat Ingin Tahu Manusia, bahwa manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan kebenaran, karena didorong oleh rasa ingin tahunya yang selalu ada dan tidak pernah padam. Didorong oleh rasa ingin tahu, maka manusia selalu melakukan kajian-kajian dan penelitian, dengan melalui kajian dan penelitian banyak rahasia tersingkap. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang terstruktur, teratut dan kebenarannya sudah diuji.
Keinginan manusia untuk mengetahui lebih banyak dan lebih dalam lagi menjadi ciri kehidupan akademik pada manusia, maka manusia belajar dari kenyataan tentang adanya kenyataan-kenyataan yang selalu sama [statis] dan selalu dalam keadaan berubah [dinamis] dan karena itu manusia menjadi tidak puas dengan kenyataan-kenyataan yang diamatinya, sebagai kemungkinan-kemung kinan [Mattu lada, dalam Taufuk Abdullah dan M. Rusli Karim, 1989:3].
Perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan untuk menghadapi persoalan hidup sehari-hari dan banyak persoalan atau masalah yang belum juga terpecahkan, sementara persoalan-persoalan baru selalu muncul. Kajian dan penelitian selalu dan terus dilakukan selama manusia masih berada di alam bumi ini, karena persoalan atau masalah kehidupan selalu muncul dan memerlukan pemecahan. Tetapi, pada kenyataannya manusia selalu tidak puas dengan kenyataan-kenyataan yang diamatinya, sebagai kemungkinan-kemungkinan. Maka manusia melakukan transendensi terhadap kenyataan dan menjadikannya kemungkinan-kemungkinan. “Kant, menyebutkan “ein der bilder bedurf-tiger verstand”, kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu di belakang kenyataan itu”[Mattulada, dalam Taufuk Abdullah dan M. Rusli Karim, 1989:3].
Keingin tahuan manusia, belum menjadi sikap atau pengamatan ilmiah, karena keinginan tahu ini dapat membawa kita kepada pengetahuan, belum  kepada ilmu. Sebab ilmu menuntut berbagai persyaratan lain, yang timbul oleh pengamatan awal berupara pengaturan-pengaturan dan pengaturan itu membawa kita kepada penghimpunan dan penemuan hubungan-hubungan yang ada antara realitas yang kita amati. Hubungan-hubungan itu berbagai macam, dapat berdasar fungsional, kesamaan material, warna, bentuk dan lain-lain. Kemudian azas pengaturan dinyatakan sebagai batasan yang menentukan tempat fakta-fakta dalam satu bagian dan inilah yang disebut dengan konsistensi azas pengaturan[ibid, 3].
Dalam pandangan Islam, kebenaran mutlak dari Allah “alhak min rabbika” yang terwujud dalam firmannya al-Qur’an dan sabda Nabi hadis. Dalam dunia penelitian, Winarno Surachmad, menyatakan bahwa untuk mencari kebenaran dapat ditempuh melalui berbagai macam cara. Cara-cara tersebut, diantaranya adalah : 
Pertama, penemuan secara kebetulan, artinya penemuan ini datangnya tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu. Kedatangannya tidak pasti dan tidak selalu memberi gambaran kebenaran.
Kedua,    Trial and Error, artinya ada usaha aktif untuk mencoba dan mencoba lagi. Pada saat mengadakan trial [tindakan] tidak ada kesadaran yang pasti mengenai pemecahan yang akan dilakukan. Jadi ada sikap untung-untungan, apabila percobaan pertama gagal, mungkin dilakukan percobaan berikutnya dan dapat berhasil setelah dilakukan beberapa perbaikan. Memang diakui cara ini terlalu panjang, terlalu meraba-raba karena tidak ada pengertian yang jelas.
Ketiga,    otoritas/Kewibawaan, artinya pendapat dari sesuatu badan atau orang-orang terkemuka yang dianggap berwibawa, dijadikan pegangan yang kebenarannya dianggap mutlak. Bahkan pendapat itu sudah menjadi milik umum; misalnya keyakinan terhadap seseorang yang selalu benar/manusia super yang tidak pernah salah.
Keempat, pemecahan cara spekulasi, artinya pemecahan masalah dilakukan dengan memilih berbagai kemungkinan pemecahan meskipun yang bersangkutan juga belkum yakin bahwa cara yang dipilihnya paling tepat. Hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang tidak begitu masak, plihan itu dianggap terbaik. Dengan demikian, langkah spekulasi juga merupakan trial and error tetapi lebih terstur dan sistematis.
Kelima,   dengan berfikir Kritis atau berdasarkan pengalaman, artinya manusia mempunyai kemampuan berpikir. Maka dengan prinsip syllogisme diaturlah jalan pikiran, yaitu berpangkal pada premis-premis [kebenaran umum] diperoleh suatu kesimpulan. Langkah atau cara ini disebut dengan berfikir deduktif dan sebaliknya cara berfikir induktif berpijak pada fakta-fakta yang diperoleh dari pengalaman langsung, kemudian menarik kesimpulan umum. Jadi untuk sampai atau mencapai kebenaran, kedua cara berfikir tersebut mungkin dapat dipadukan dan hasilnya bergantung pada kemampuan berfikir dan jenis-jenis pengalaman. Dari langkah-langkah ini bermula metode penyelidikan, karena manusia mulai mencari cara atau jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuannya.
Keenam,  metode penyelidikan ilmiah, merupakan penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Orang yakin bahwa ada sebab bagia setiap akibat dan setiap gejala yang nampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Maka, penyelidik harus bersikap objektif, karena kesimpulan hanya akan dapat ditarik apabila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan dikumpulkan melalui cara, prosedur yang sistimatis, jelas dan terkontrol [Winarno Surachmad, dalam Marzuki, Metodologi Riset, 1977: 2].
Penelitian, untuk mewujudkan rasa ingin tahu dan mencari kebenaran manusia selalu mengkaji dan melakukan penelitian, sebab penelitian merupakan upaya sistimatis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan atau menjeneralisasi prinsip-prinsip umum. Penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, sebab pengetahuan dan pengalaman manusia tumbuh dan berkembang dari kajian-kajian dan penelitian sehingga mendapatkan penemuan-penemuan dan mampu dan siap untuk melakukan revisi terhadap pengetahuan-pengetahuan yang berkembang pada masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.
Penelitian dan kajian-kajian dipandang sebagai kegiatan ilmiah sebab menggunakan metode ilmiah yaitu gabungan antara  pendekatan rasional dan pendekatan emperis. Pendekatn rasional memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan pendekatan empiris merupakan kerangka pengujian  dalam memastikan kebenaran [Ahmad Syafi’I dalam Afandi Mochtar (ed), 1996: 33].  Metode ilmiah adalah suatu usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.  Kriteria metode ilmiah dalam suatu penelitian adalah
[1] berdasarkan fakta,
[2] bebas dari prasangka,
[3] menggunakan prinsip-prinsip analisis,
[4] menggunakan hipotesis,
[5] menggunakan ukuran objektif, dan
[6] menggunakan teknik kuantitatif
[Moh. Nazir, dalam Tatang Abd Hakim, dk., 2001:56].
Sedangkan, beberapa ciri metode ilmiah adalah :
[1] memperoleh keterangan yang cukup dan teliti,
[2] menggunakan pemikiran yang logis dan teratur,
[3] menyusun pengetahuan secara sistimatis,
[4] membatasi masalah dengan batas-batas yang tegas,
[5] menemukan hokum-hukum, prinsip-prinsip umum sebagai suatu teori dasar yang dapat dipercaya, untuk dipergunakan di masa depan dan
[6] menguji dan menunjukkan pokok-pokok dari penemuan-penemuan
[Suroso Wirodihardja, 1964, Pokok-Pokok Ilmu Tata Negara, PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 201].
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ilmiah adalah sebagai berikut:
[1] memilih dan mendefinisikan masalah,
[2] survey terhadap data yang tersedia,
[3] memformulasikan hipotesis,
[4] membangun kerangka analisis serta alat-alat dalam menguji hipotesis,
[5] mengumpulkan data primer,
[6] mengolah, menganalisis dan membuat interpretasi,
[7] membuat generalisasi atau kesimpulan dan
[8] membuat laporan
[Tatang Abd Hakim, dk., 2001:56].

b.    Agama Sebagai Objek Penelitian
Agama sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan, artinya penelitian agama dianggap transenden, tabu, suci dan sacral.  Atho Mudzhar, menyatakan bahwa orang akan berkata, kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti; agama adalah wahyu Allah dan menutnya sikap serupa juga penah terjadi di Barat [H.M.Atho Mudzhar, 1998:11].  Ahmad Syafi’I Mufid [Afandi Moctar (ed), 1996:34] menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Oleh sebab itu, agamawan cerderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti.
Harun Nasution, menunjukkan pendapat yang meyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial dan kalaupun dapat dilakukan harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Dalam menjawab persoalan itu, Kemudian, Harun Nasution membangun sebuah pertanyaan: Betulkan ajaran agama hanya merupakan wahyu dari Tuhan? [Harun Nasution, dalam Tatang Abd Hakim, dk., 2001:56-57].
Agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melelalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, Penjelasan-penjelasan pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama.
Penjelasan ahli agama ter-hadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pe-mikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan per-kembangan [Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed), 1982:57]. Pandangan atau uraian di atas,  dapat digam-barkan sebagai berikut :

Dari penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, dijadikan kaji-an dan penelitian. Ilmuwan beranggapan bahwa ajaran agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena ajaran agama itu sendiri dihayati, diyakini dan dilaksanakan ma-nusia dan selalu berinteraksi sesamanya, sehingga agama dianggap merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural.
Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia  yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofis ketuhanan, tetapi bagaimana agama itu ada dalam perilaku, interaksi, kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural [Tatang Abd Hakim, dk., 2001:57]. Ahmad Syafi’I Mufid, menyatakan bahwa kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama [Ahmad Syafi’I dalam Tatang Abd Hakim, dk., 2001:57]. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedudukan penelitian agama sejajar dan sama dengan penelitian-penelitian lain, yang membedakan hanyalah objek  kajian yang ditelitinya.
Untuk  mempermudah dan memperjelas peta penelitian agama, kita dapat memahaminya melalui table dibawah ini:
Agama diturunkan dan terwujud dalam bentuk perilaku, pengetahuan dan pikiran manusia merupa-kan bagian dari budaya. Jadi, mengkaji fenomena keaga-maan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Feno-mena keaga-maan itu sendiri, adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang me-nyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang berasalan dari suatu kegaiban [Mattulada, da-lam Taufuk Abdullah dan M. Rusli Karim, 1989:1].
Agama yang diturun-kan kemudian diterjemah-kan dan ter-wujud dalam bentuk tindakan dan sikap manusia  merupakan   pro-
duk interaksi sosial. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah. Ilmu-ilmu penge-tahuan   sosial   dengan      caranya masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsur-unsur yang menjadi komponen terjadi perilaku itu. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, sosiologi menyorotinya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu dan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia[Mattulada, dalam Taufuk Abdullah dan M. Rusli Karim, 1989:1].
Agama yang terwujud dalam bentuk tindakan dan sikap [behavior] menusia merupakan produk “interaksi sosial” dan oleh karena itu ia merupakan bagian dari ilmu sosial dan ilmu sejarah. Apabila, kita mencoba menggambarkan dalam pendekatan sejarah, sosiologi dan antropologi secara sistematik, maka fenomena keagamaan itu yang berakumulasi pada pola perilaku manusia didekati dengan menggunakan “ketiga model pendekatan” sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing [ibid,1]. Maka kita akan dapat melihat proses posisi dan terbentuknya pola perilaku itu dalam satu kerangka acuan kehidupan yang memberikan manifestasi secara utuh dan total. Kemudian yang terwujud dalam bentuk benda-benda suci atau keramat, merupakan wilayah kajian antropologi dan arkiologi. Dengan demikian, agama yang terwujud dalam tindakan dan sikap menusia yang merupakan produk “interaksi sosial” dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain.


2.2 Penelitian Agama dan Penelitian Keagamaan
M. Atho Mudzhar [1998:35] menyatakan bahwa, penggunaan istilah “penelitian agama” dan penelitian keagamaan sampai sekarang masih belum diberi batas yang tegas. Penggunaan istilah “penelitian agama” sering juga dimaksudkan mencakup pengertian istilah “penelitian keagamaan” dan juga sebaliknya. Salah satu contoh yang dikatakan M. Atho Mudzhar bahwa pernyataan A. Mukti Ali ketika membuka Program Latihan Penelitian Agama [PLPA], menggunakan kedua istilah tersebut dengan pengertian atau arti yang sama.
M. Atho Mudzhar, mengutip pendapat Middleton, guru besar antropologi di New York University. Middleton berpendapat bahwa “penelitian agama (research on religion) berbeda dengan “penelitian keagamaan” (religious research). Lebih lanjut, M. Atho Mudzhar, menyatakan bahwa penelitian agama “lebih mengutamakan pada materi agama”, sehingga sasarannya pada tiga elemen pokok yaitu: ritus, mitos, dan magis. Sedangkan penelitian keagamaan “lebih mengutamakan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan [religious system] [M. Atho Mudzhar,1998:35]. Untuk menjelaskan pandangan tersebut, M. Atho Mudzhar, mengatakan bahwa Middleton berkata:  “keduanya [yakni, agama dan sistem keagamaan] tidaklah sama. Agama dapat dikaji dari beberapa sudut pandang: teologi, histories, komparatif, psikologis-sementara sistem keagamaan adalah sistem sosiologis, suatu aspek organisasi sosial dan hanya dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak”. Maka menurut M. Atho Mudzhar, jika usaha perbedaan yang dilakukan  Middleton tersebut diterima dan diikuti, maka sasaran penelitian agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial [M. Atho Mudzhar, 1998:35-36].
Untuk lebih jelasnya, perlu memperhatikan, pertama, perbedaan antara “penelitian agama” dengan “penelitian keagamaan” perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk itu, sangat perlu untuk melihat perbedaan pandangan ini, karena kita akan mampu meletakkannya secara proporsional. Kedua, penelitian agama yang sasarannya adalah “agama sebagai doktrin”, tentu  pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, dan bahkan sudah ada yang pernah merintisnya. Misalnya, ilmu ushul al-fiqh sebagai metode untuk istimbat hukum dalam agama Islam dan ilmu mushthalah al-hadis sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad Saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama pernah muncul. Ketiga, penelitian keagamaan yang sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial, tentu kita tidak perlu repot-repot membuat metodologi penelitian tersendiri. Artinya, pada penelitian ini kita cukup meminjam dan menggunakan metodologi penelitian sosisl yang telah ada.
Apabila mengikuti perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan yang dikemukakan Middleton, kita akan menggunakan metode yang berbeda apabila masalah yang diteliti termasuk wilayah yang pertama atau wilayah yang kedua. Maka dalam pandangan Middleton,, penelitian agama Islam adalah penelitian yang objeknya adalah substansi agama Islam, yaitu: kalam, fikih, akhlak, dan tasawuf. Sedangkan penelitian keagamaan Islam dalam pandangan Middleton, adalah penelitian yang objeknya adalah “agama sebagai produk interaksi sosial”. Maka tepatnya, baik penelitian agama maupun penelitian keagamaan merupakan kajian yang menjadikan agama sebagai objek penelitian[Tatang Abd Hakim, dk., 2001:60].
Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya. Jadi, jelas Juhaya, dalam pandangannya terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu :
a.    Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis.
b.    Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu, yakni ushul al-fiqh yang merupakan metodologi ilmu agama. Maka, penelitian dalam bidang ini telah melahirkan filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf dan fiqih.
Penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal, yaitu :
a.    Perilaku individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. 
b.    Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama. 
c.    Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama[Juhaya S. Praja, 1997:32].
Berkenaan dengan metode penelitian, maka Ahmad Syai’I Mufid, menjelaskan bahwa, apabila penelitian agama berkenaan dengan pemikiran atau gagasan, maka metode-metode seperti, filsafat, fisiologi adalah pilihan yang tepat. Penelitian agama yang berkaitan dengan sikap perilaku agama, maka metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi merupakan metode yang paling tepat digunakan. Sedangkan, penelitian yang berkenaan dengan benda-benda keagamaan, maka metode arkeologi atau metode-metode ilmu natural yang relevan, tepat digunakan. [Ahmad Syafi’I Mufid dalam Affandi Mochtar (ed), 1996:35].
Berdasarkan pandangan tersebut, maka metode penelitian yang kita gunakan dalam suatu kegiatan penelitian tidak mesti membangun metode baru, tetapi cukup meminjan, menggunakan, melanjutkan atau mengembangkan metodologi yang sudah dibangun oleh para ahli sebelumnya [Tatang Abd Hakim, dk., 2001:60]. Menurut Juhaya S. Praja, kerena sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam memahami dan mengkaji agama, maka metode yang digunakan pun metode sosiologi, seperti observasi, interview, dan angket. Karena, dalam dataran sosiologi, agama dipahami sebagai perilaku yang konkret [Juhaya S. Praja, 1997:55].

2.1.3. Konstruksi Teori Penelitian Keagamaan
Konstruksi adalah cara membuat [menyusun] bengunan-bangunan dan dapat pula berarti susunan dan hubungan kata di kalimat atau dikelompok kata [W.J.S. Poerwadarminta, 1991:520]. Teori berarti pendapat yang dikemukakan  sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa [kejadian], dan berarti pula asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu keseniaan atau ilmu pengetahuan. Selain itu, teori dapat pula berarti pendapat, cara-cara, dan aturan-aturan untuk melakukan sesuai [Ibid, 1055].
Dalam ilmu penelitian teori-teori itu pada hakekatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat atau mengenai suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti dari satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat, misalnya kita ingin meneliti tentang gejala ”bunuh diri”. Teori intergrasi atau kohesi sosial dari  Durkheim [seorang ahli sosiologi Perancis], mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dan gejala bunuh diri. Durkheim mulai dengan pengamatan statistis bahwa angka bunuh diri antar orang Katolik lebih rendah daripada orang Protestan.
Dalam penelitian selanjutnya, Durkheim menarik kesimpulan bahwa faktor utama yang menentukan dalam gejala ini adalah integrasi sosial. Perumusan  analisis teoritisnya, bahwa ”intergrasi atau kohesi sosial dapat memberi dukungan batin kepada para anggota kelompok yang mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan jiwa yang hebat. Angka bunuh diri adalah fungsi dari kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-orang tertentu. Selanjutnya disimpulkan bahwa, orang Katolik mempunyai kohesi sosial yang kuat dari pada orang Protestan, karena itu dapat diharapkan bahwa angka bunuh diri pada orang Katolik lebih rendah daripada orang Protestan [Mely G. Tan, 1983:20].   Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ”konstruksi teori” adalah susunan atau bangunan dari suatu pendapat, asas-asas atau hukum-hukum mengenai sesuatu yang antara satu dan lainnya saling berkaitan, sehingga membentuk suatu bangunan [Abuddin Nata, 2004:166].
Penelitian [research] yang  dilahirkan oleh dunia ilmu pengetahuan mengandung implikasi-implikasi yang bersifat ilmiah, karena merupakan proses penyelidikan yang berjalan sesuai ketentuan-ketentuan dalam ilmu pengetahuan tentang penelitian yang selanjutnya disebut methodology of research. Tujuan pokok dari kegiatan penelitian adalah mencari ”kebenaran-kebenaran objektif” yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaruan, perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan [HM.Arifin, 1993: 142].
Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan seperti antropologi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain telah mencoba mendefinisikan agama, tetapi bnyak pula hasilnya kurang atau tidak memuaskan, karena tidak dapat diperoleh definisi yang seragam.  R.R. Marett [dalam Abuddin Nata, 2004:167], seorang ahli antropologi Inggris, mengatakan bahwa agama yang paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan, karena agama menyangkut lebih daripada hanya pikiran, yaitu menyangkut dengan perasaan dan kemauan juga dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionalnya walaupun idenya kabur. Namun demikian, mendefinisikan ”agama” dapat juga dilakukan, meskipun sangat minimal, sebagaimana yang telah diberikan E.B.Taylor [dalam Abuddin Nata, 2004:168], mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib.  J.G. Frazer [dalam HM. Arifin, 1992:5], mengatakan agama adalah suatu ketunduhan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia yang dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia. Frazer, mengatakan bahwa agama terdiri dari dua elemen, yaitu pertama  bersifat teoretis, berupa kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia. Kedua, bersifat praktis, usaha manusia untuk tunduk kepada kekuatan-kekuatan tersebut serta usaha menggembirakannya.
Harun Nasution, berdasarkan analisis terhadap berbagai istilah yang berkaitan dengan al-din dan religi dan agama, kemudian beliau sampai pada kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut adalah ”ikatan”.  Kemudian ia, mengatakan bahwa agama mengandung arti ”ikatan-ikatan” yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.  Sebab, ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Karena, ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Kemudian Harun Nasution, menyebutkan delapan macam definisi agama, dua diantaranya adalah [1] Agama berarti pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. [2] Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, dan [3] Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia [Harun Nasution, 1979: 10].  
 Dari definisi-definisi tersebut, Harun Nasution, kemudian menyebut ada empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu : [1] Ada unsur kekuatan gaib, manusia merasa lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Manusia melakukan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut dan hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larang kekuatan gaib itu. [2] Unsur keyakinan manusia bahwa kesejahteraan di dunia dan akhirat bergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. [3] Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta dan sebagainya, dan [4] Unsur paham adanya yang kudus [sacred] dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu [Harun Nasution, 1979: 10-11].
Bagi orang-orang pemeluk agama samawi tidak mengalami kesulitan dalam mendefiniskan agama, karana bagi mereka, agama memiliki kriteria yang jelas karena telah disebutkan dalam kitab-kitab sucinya dan agama bukan ciptaan manusia, melainkan berasal dari Tuhan, sehingga asal-usulnyapun tidak bersumber pada kondisi dan situasi alam sekitar atau masyarakat [Abuddin Nata, 2004:168].  Maka bertolak dari ciri-ciri yang dikemukakan di atas, kaum agamawan mendefinisikan agama adalah ”suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk memegang peraturan Tuhan itu atas pilihannya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagian kelak di akhirat” [Taib Thahir Abd. Mu’in, 1986: 121]   
Ilmu-ilmu pengetahuan sosial, terutama antropologi budaya, telah mengembangkan metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif  [dapat dikategori agama ardi atau ”non-samawi”], terutama di belahan bumi sebelah Timur ini. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan para penganutnya [Mattulada, 1989:2]. Adapaun terhadap agama-agama profetis atau agama-agama besar dunia, ilmu pengetahuan modern juga melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Akan tetapi tidaklah pengkajian itu sama kuatnya terhadap semua agama.  Katakan saja, para sosiologi antaropologi seperti Marx, Durkheim hingga Weber, telah banyak mengkaji terhadap agama Nasrani dan Yahudi, tetapi kurang atau tidak memeliki perhatian terhadap Islam.
Memang masalah keagamaan selalu hadir dalam sejarah kehidupan umat manusia sepanjang zaman, sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas tersebar di permukaan bumi ini, menjadi bagian dari kehidupan kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup sosial-budaya berbeda dengan lingkup sosial budaya lainnya [Mattulada, 1989:2-3].  Timbul pertanyaan apakah agama dapat diteliti? Jawabannya untuk agama budaya manusia yaitu agama alam [agama ardi] dan kepercayaan suku-suku bangsa primitif, penelitian dapat dilakukan sepenuhnya, baik terhadap ajaran dan doktrin-doktirnnya maupun terhadap bentuk pengamalannya, seperti yang telaha dilakukan oleh  ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya yang telah mengembangkan metode-metode ilmiah untuk penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif.  Sedangkan untuk agama samawi jawabannya adalah ada bagian-bagian yang dapat dijadikan sasaran garapan penelitian, yaitu bagian isi dari pengalan agama dan ada pula bagian-bagian yang kepadanya tidak dapat dilakukan penenlitian, yaitu bagian isi dari agama [baca : Abuddin Nata, 2004:170].
Mukti Ali, mengelaborasi pemikiran Syekh Mahmoud Syaltout, yang membagi Islam terdiri dari dua elemen pokok, yaitu ”aqidah” dan ”syariat”.  Kemudian cara atau metode mendekatainya kedua elemen pokok tersebut adalah filosofis dan doktriner. Maka, metodologi yang digunakan Syekh Mahmoud Syaltout tanpaknya berbeda dengan metode yang digunakan ulama-ulama sebelumnya, yang menyatakan bahwa Islam terdiri dari aqidah dan muamalah, kemudian muamalah dibagi dua yaitu muamalah yang berhubungan dengan Tuhan dan muamalah yang berhubungan dengan manusia dan pendekatan yang digunakan adalah doktriner.
Fazlur Rahman, menyatakan bahwa pokok ajaran Islam ada 3 [tiga], yaitu : [1] percaya kepada keesaan Tuhan, [2] pembentukan masyarakat yang adil, [3] kepercayaan hidup setelah mati. Menurut Fazlur Rahman, cara mempelajari ketiga hal tersebut dengan cara mempelajari al-Qur’an. Cara mempelajari al-Qur’an harus disertai dengan mempelajari konteks sejarahnya, yaitu dalam suasana dan situasi apa ayat al-Qur’an itu diturunkan. Begitu juga dalam mempelajari Hadis sangat hati-hati dan hanya Hadis yang benar [Hadis sahih] yang dipergunakan. Fazlur Rahman menggunakan dua metode yaitu : [1] Historiko critical method [metode kritik sejarah], merupakan sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai [values] tertentu yang terkandung di dalamnya. [2] Hermeneutic method, metode yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab sucim sejarah, hokum dan juga dalam bidang filsafat. Metode ini digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap teks kitab suci dan penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang menggunakan bahasa yang rumit
Menurut Fazlur Rahman, bahwa  kedua metode tersebut merupakan dua buah metode yang berkaitan erat. Metode “critical history” berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan hermeneutic difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya. Sehubungan dengan ini, Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu Islam Normatif dan Islam Historis [Hujair AH. Sanaky, 1998: 5].  Ali Syari’ati, menyetakan dalam mempelajari dan meneliti Islam, ada 2 [dua] metode yang fundamental untuk memahami Islam secara tepat. Pertama, adalah mempelajari al-Qur’an yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan linier. Kedua, adalah mempelajari sejarah Islam, yaitu mempelajari secara menyeluruh perkembangan Islam sejak permulaan misi Nabi Muhammad Saw, sampai sekarang, atau dalam klasifikasi Harun Nasution adalah periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.
Melihat perkembangan metodologi tersebut, maka orang dapat memahami bahwa sekalipun pendekatan mereka berbeda, namun dapat diambil keseimpulan bahwa elemen-elemen yang harus diketahui dalam Islam adalah : [1] Tuhan , [2] alam, dan [3] manusia. Maka Tuhan [teologi], alam [kosmologi] dan manusia  [antropologi] sebagai tiga masalah pokok yang dibahas oleh Islam dan juga oleh agama-agama lain [Mukti Ali, 1991: 24-25].  Dewasa ini, tiga masalah besar itu masih mengejar-ngejar pemikiran manusia modern. Di antara mereka tidak sedikit yang mengikuti pemikiran-pemikiran saintis dan mengambil sains sebagai jawabannya. Orang-orang yang “progresif” berpendapat bahwa mempelajari tiga soal tersebut berarti “spikulasi metafisis”, sedangkan orang-orang yang “paling progresif” melihat bahwa tiga persoalan tersebut hanya dapat dijawab dengan pendekatan agama, dan inilah menurut Mukti Ali merupakan metodologi keempat [Mukti Ali, 1991: 25-26].
Metode lain untuk mempelajari Islam adalah tipologi, karena metode ini oleh banyak para ahli sosiologi menganggap lebih objektif karena berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan topikinya, kemudian dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Maka pendekatan ini digunakan sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia. Dengan demikian, metode ini dapat digunakan untuk memahami agama, maka  ada orang yang berusaha memahami ajaran Islam dengan pendekatan membahas : [1] Tuhan dan kemudian dibandingkan dengan tuhan-tuhan di lain agama. [2] Ada yang memahami dan mempelajari kitab suci al-Qur’an dan dibandingkan dengan kitab-kitab yang diwahyukan atau dianggap diwahyukan. [[3] Ada juga cara untuk memahami Islam dengan mempelajari diri pribadi Nabi Muhammad dan dibandingkan dengan nabi-nabi agama lain. [4] Kedaan sekitar pada waktu munculnya Nabi dari tiap-tiap agama dan kondisi orang-orang yang dida’wahi. [5] Ada juga yang mempelajari pemikiran orang  dan membandingkan antara satu dengan yang lain, dan lain-lain.
Penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah agama sebagai produk ”interaksi sosial” atau ”perilaku manusia”. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Maka, berkenaan dengan hal itu, tanpaknya kitapun tidak perlu menyusun teori penelitian tersendiri, tetapi cukup meminjam teori ilmu-ilmu sosial yang sudah ada dan telah diuji. Beberapa teori yang dapat digunakan adalah :
[1] teori perubahan sosial,
[2] teori struktural-fungsional,
[3] teori antropologi dan sosiologi agama,
[4] teori budaya dan tafsir budaya simbolik,
[5] teori pertukaran sosial, dan
[6] teori sikap.
Menurut Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, bahwa seorang peneliti Ummu Salamah dalam meneliti “Tradisi Tarekat dan Dampak Konsistensi Aktualisasinya terhadap Perilaku Sosial Penganut Tarekat [Studi Kasus Tarekat Tijaniyah di Kabupaten Garut, Jawa Barat: dalam Perspektif Perubahan Sosial]”, menggunakan teori-teori sosial yang disebutkan di atas.  Dengan demikian, penelitian di atas meminjam teori-teori yang dibangun dalam ilmu-ilmu sosial. Ia disebut penelitian keagamaan [religius research] dalam pandangan Midletton atau penelitian hidup agama dalam pandangan Juhaya S. Praja, karena objeknya adalah “perilaku Tarekat Tijaniah” [Juhaya S. Praja,1997:55-57, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:64].
Dari uraiakan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ”konstruksi teori penelitian agama” merupakan suatu upaya untuk memeriksa, mengkaji, mempelajari, memprediksi atau menduga dan memahami secara saksama susunan atau bangunan dasar atau hukum-hukum dan ketentuan lainnya yang diperlukan untuk melakukan penelitian terhadap bentuk pelaksanaan atau pengamalan ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman.  Jadi,  penelitian agama adalah ”pendekatan ilmiah yang diterapkan untuk menyelidiki masalah-masalah agama” dengan menggunakan cara atau metode yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kegiatan ilmiah.


2.4 Model-model Penelitian Keagamaan
Untuk menyusun konstruksi teori penelitian, seorang peneliti terlebih dahulu mengetahui bentuk dan macam-macam penenlitian, karena perbedaan sasaran, objek, bentuk dan macam penelitian yang dilakukan akan mempengaruhi bentuk konstruksi teori penelitian yang dilakukan, termasuk penelitian keagamaan [lihat : Abuddin Nata, 2004:172]. Penelitian dapat mengambil bentuk bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana yang akan digunakan untuk melihatnya. Apabila dilihat dari sudut hasil yang ingin dicapai, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian menjelajah [exploratory atau deskriptif] dan penelitian yang bersifat menerangkan atau explanatory.  Dalam penelitian yang bersifat menjelajah, di mana pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali, teori-teorinya belum ada atau belum diperlukan. Demikian pula dengan penelitian yang bersifat deskriptif. Sedangkan dalam penelitian yang bersifat menerangkan di mana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesis-hipotesis yang akan diuji, jelas memerlukan teori [Mely G. Tan, 1983:19, dalam Abuddin Nata, 2004:173].
Selanjutnya jika dilihat dari segi bahan-bahan atau objek yang akan diteliti, maka penelitian dapat dibagai menjadi penelitian kepustakaan [library research], yaitu dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar dan dokumen lainnya. Sedangkan penelitian lapangan [field research], yaitu dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari lapangan atau sasaran penelitian yang selanjutnya disebut informan atau responden melalui instrumen pengumpulan data seperti angket, wawancara, dokumen, dan observasi [Abuddin Nata, 2004:173]. Jika dilihat dari cara menganalisisnya, maka penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu : penelitian yang bersifat kualitatif  dan penelitian yang bersifat kuantitatif.  Penelitian yang bersifat kualitatif dilakukan terhadap objek penelitian yang bersifat sosiologis, budaya dan fenoma. Sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan terhadap objek penelitian yang bersifat fisik, material dan dapat dihitung jumlahnya.  Maka dapat dikatakan bahwa, sikap keagamaan, kecerdasan, pengaruh kebudayaan, fenomena sosial dan lain sebagainya termasuk objek penelitian kualitatif. Sedangkan sasaran atau objek penelitian yang sifatnya ingin mengetahui jumlah penganut agama, para lulusan, jumlah orang melanggar peratutan, tingkat perceraian, jumlah jemaah haji pertahun dan sebagainya dapat dilakukan dengan penelitian yang bersifat kuantitatif [lihat : Abuddin Nata, 2004:173].
Dari perjelasan di atas,  model penelitian dalam pembahasan ini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan. Djamari, menjelaskan bahwa kajian sosiologi dalam kajian agama yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan sosiologi. Djamari, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Maka, pengumpulan data dan metode yang digunakan, antara lain dengan data sejarah, analisis komparatif lintas budaya, eksperimen yang terkontrol, observasi, survai, dan analisis isi [Djamari, 1993: 53, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:64]. Dapat juga dilakukan ”penelitian tindakan [action research]” [Sumadi Suryabrata, 1994: 9]. Selain itu, Masri Singarimbuan, mengatakan jika kita bertolak dari segi metode dan rancangan yang digunakan, membagi penelitian menjadi penelitian survei dan penelitian eksperimen dan grounded research [Masri Singarimbuan dan Sofian effendi, 1989:3-8].
Jadi, dapat dikatakan bahwa metode sosiologi dalam kajian agama, secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan sosiologi dan berbagai macam penelitian yang didasarkan pada segi metode dan rancangan penelitian dapat dikemukakan, sebagai berikut :

a. Analisis Sejarah
Tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensistematisasikan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Penelitian historis memiliki ciri-ciri antara lain : [1] Bergantung pada daya observasi orang lain daripada yang diobservasi oleh peneliti sendiri. [2] Harus tertib, ketat, sistematis dan tuntas dan bukan sekedar mengkoleksi informasi-informasi yang tak layak, tidak reliabel dan berat sebelah. [3] Bergantung pada data ”primer” dan data ”sekunder”. Data promer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau pengataman atau penyaksian pada kejadian-kejadian yang dituliskan. Sedangkan data sekunder, diperoleh dari sumber sekunder, yaitu peneliti melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih telah lepas dari kejadian. [4] Harus melakukan kritik eksternal dan kritik internal. Kritik internal menanyakan apakah dokumen itu otentik atau tidak, apakah data tersebut akurat atau relevan, sedangkan kritik internal harus menguji motif, berat sebelah dan sebagainya [Sumadi Suryabarata,1994:16-17]
Sosiologi tidak memusatkan perhatiannya pada bentuk peradaban pada tahap permulaan pada waktu tertentu [etnografi], tetapi menerangkan realitas masa kini, realitas yang berhubungan erat dengan kita, yang mempengaruhi gagasan dan perilaku kita. Supaya kita mengerti persoalan manusia sekarang, kita harus mempelajari sejarah masa silam. Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsure-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, suatu peristiwa dan lain-lain. Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.
Dalam menggunakan data histories, sejarawan cenderung menyajikan detail dari situasi sejarah dan eksplanasi tentang sebab akibat dari suatu kejadian. Sedangkan sosiologi lebih tertarik pada persoalan apakah situasi social tertentu diikuti oleh situasi social yang lain. Sosiologi mencari pola hubungan antara kejadian social dan karakteristik agama.  Beberapa pakar atau peneliti yang telah menggunakan analisis histories, adalah [1] Talcott Parson dan Bellah ketika ia menjelaskan evolusi agama, [2] Berger, dalam uraiannya tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern, [3] Max Webwr, ketika ia menjelaskan sumbangan teologi Protestan terhadap lahirnya kapitalisme [Djmari, 1993, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:65].

2. Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola keagamaan di beberapa daerah kebudayaan, sosiologi dapat memperoleh gambaran tentang korelasi unsure budaya tertentu atau kondisi social cultural secara umum. Weber, mencoba membuktikan teorinya tentang relasi antara etika Protestan dengan kebangkitan kapitalisme melalui kajian agama dan ekonomi di India dan Cina [Djmari, 1993, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:65].

3. Eksperimen
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun dalam beberapa hal, eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama. Darley dan Batson, melakukan eksperimen di sekolah seminari, dengan mengukur “pengaruh cerita-cerita dalam Injil terhadap perilaku siswa” [Djamari, 1993, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:65].  Mungkin saja, dalam studi Islam dapat melakukan eksperimen terhadap cerita-cerita  al-Qur’an terhadap perilaku siswa.
Selain itu, dalam penelitian eksperimen juga dikenal dengan istilah eksperimental sungguhan, yaitu penelitian yang ”dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok kesperimental dan memperbandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenal kondisi perlaakuannya [Abuddin Nata, 2004:176]. Sebagai contoh penelitian eksperimental sungguhan ini adalah penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki pengaruh dua metode mengajar al-Qur’an pada murid-murid kelas III SMU sebagai fungsi ukuran kelas [besar dan kecil] dan taraf inteligensi murid [tinggi, sedang dan rendah] dengan cara menempat guru secara random [acak] berdasarkan tingkat inteligensi, ukuran kelas dan metode mengajar [baca : Abuddin Nata, 2004:177].
Penelitian ini memiliki ciri-ciri antara lain : [1] Menuntut pengaturan variabel-variabel dan kondisi-kondisi eksperimental secara tertib ketat, baik dengan kontrol atau manipulasi langsung maupun dengan menggunakan pengaturan secara acak. [2] Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai garis dasar untuk membandingkan dengan kelompok-kelompok yang dikenai perlakuan eksperimental [Abuddin Nata, 2004:177].

4.    Observasi Partisipatif
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks religius. Orang yang diobservasi boleh mengetahui bahwa dirinya sedang diobservasi atau secara diam-diam. Di antara kelebihan penelitian ini adalah memungkinkannya pengamatan simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun salah satu kelemahannya adalah terbatasnya data pada kemampuan observer [Djamari, 1993, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:66].

5.    Riset Survei  dan Analisis Statistik
Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sample dari suatu populasi. Sampel dapat berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap social atau atribut keagamaan tertentu [Djamari, 1993, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:66].

6.    Analisis isi
 Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-buku khotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan yang lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut [Djamari, 1993:53-59, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:55-66].

7.  Penelitian Tindakan [Action Research]
Penelitian tindakan dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk memecahkan persoalan atau masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau dunia actual yang lain. Contoh untuk penelitian tindakan ini adalah suatu program inservise training  untuk melatih para konselor bekerja dengan anak putus sekolah untuk menyusun program penjajagan dalam pencegahan kecelakaan pada pendidikan pengemudi, untuk memcahkan masalah apatisme dalam penggunaan teknologi modern atau metrode menanam padi yang inovatif. Penelitian ini memeiliki cirri-ciri antara lain praktis dan langsung relevan untuk situasi actual dalam dunia kerja, serta fleksibel dan adaptif, membolehkan perubahan-perubahan selama masa penelitiannya dan mengorbankan kontrol untuk kepentingan inovasi [Sumari Suryabrata, 1994:16-35, dalam Abuddin Nata, 2004:177].


8. Grounded Research
Titik berat grounded research pada pendekatan yang bersifat kualitatif.  Pada penelitian ini data yang dikumpulkan dengan menggunakan wawancara bebas di mana para peneliti tidak memulai penelitiannya dengan teori atau hipotesis yang akan diuji, melainkan bertolak dari data yang dikumpulkan. Berkenaan dengan penelitian Glaser dan Strauss [1967] mengatakan bahwa grounded research  merupakan reaksi yang tajam dan sekaligus menyajikan jalan keluar dari ”stagnasi teori”  dalam ilmu-ilmu sosial, dengan menitikberatkan pada sosiologi. Kritik dilontarkan baik kepada pendekatan yang kuantitatif maupun yang kualitatif yang selama ini dilakukan [Sumadi Suryabrata, 1994:8].
Grounded research  dalam operasionalnya tidak terikat pada teori tertentu.  Penelitian model ini pada hakekatnya merupakan upaya mengkritik terhadap keterikatan para peneliti yang berlebihan terhadap teori-teori yang sangat umum [grand theories] dari tokoh-tokoh besar seperti Weber, Persons, Veblen, Cooley, yaitu kritik terhadap studi yang menjurus ke arah verifikasi yang bermunculan seperti jamur di musim hujan, yakni verifikasi dari teori-teori tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan tes statistik yang hasil akhirnya merupakan verifikasi dari teori atau hipotesis.  Grounded research,  menyajikan suatu pendekatan yang baru dan data merupakan sumber teori, teori berdasarkan data, maka dari itu dinamakan grounded. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data yang bertambah dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan yang terus menerus disempurnakan selama penelitian berlangsung [Sumadi Suryabrata, 1994:9].

MAKALAH Peradaban Islam Rosululloh Periode Mekah (610-622M)


BAB  I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
            Sejak awal perkembangan islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya, karena terlibat dalam proses drasetika yang didalamnya terjadi pengambilan dan pemberian cikal bakal pertumbuhan dan pembentukan peradaban islam dibangun dengan menjadikan agama islam sebagai dasar pembentukannya. Persoalan yang tak kalah seriusnya yaitu moral masyarakat jahiliyah yang pada saat itu masih buta akan sebuah kebenaran. Melihat realitas peradaban Islam sebelumnya sudah mengenal kehidupan politik, sosial, ekonomi, bahasa, dan seni tapi semua itu masih sangat sederhana dan sangat ironis. Akan tetapi setelah Islam datang yang merupakan Rohmatal lil ‘Alamin (Rohmat bagi seluruh alam). Dan kehidupan umat pun makin terarah.
2. RUMUSAN MAKALAH
1. Bagaimana peradaban masyarakat Arab pra islam?
2. Bagaimana system dakwah Rosululloh Saw. di Makkah?
3. Bagaimana pembentukan system sosial di Makkah?

3. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
            Adapun tujuan dari pembuaan makalah yang berjudul peradaban Islam Rosululloh SAW periode mekah (610-622M) adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui peradaban-peradaban masyarakat arab sebalum Islam datang di Makkah
2.      Mengetahui bagaimana cara Rosululloh SAW menyampaikan dakwahnya ketika di Makkah
3.      Mengenal sistem-sistem sosial di Makkah


BAB II
PEMBAHASAN

1.      PERADABAN ARAB SEBELUM ISLAM
Sebelum peradaban Islam muncul, bangsa Arab telah mengenai kehidupan politik, sosial, ekonomi, bahasa, seni, dan penggunaan metode berpikir meskipun masih sangat sederhana.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Arab sangat ditentukan oleh kondisi dan letak geografis. Masyarakat pedalaman Suku Badui hidup dari sektor pertanian, terutama yang mendiami Oase. Sedangkan masyarakat perkotaan kehidupannya ditentukan oleh keahlian mereka dalam perdagangan. Oleh karena itu, suku Quraisy terkenal dalam dunia perdagangan. Mereka melakukun perjalanan dagang dua musim dalam setahun, yaitu musim panas ke Syam, dan musim dingin ke Yaman.
Makkah bukan saja merupakan pusat perdagangan lokal, melainkan sudah menjadi jalur jalur perdagangan dunia yang penting pada saat itu, karena posisinya yang sangat setrategis, yang menghubungkan antara utara (Syam), selatan (Yaman), timur (Persia), dan barat (Mesir dan Abessinia). Di Makkah, pusat perdagangan perdagangan terleta di pasar Ukaz, yang di buka pada bulan Dzuqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Dalam bidang sosial politik, Arab Jahiliyah tidak memiliki pemerintahan yang mapan. Pemimpin mereka disebut “Syaikh” atau “Amir”, yang mengurusi masalah perang dan pembagian harta hasil perang. Di luar itu, Syaikh tidak berhak mengatur anggota kabilahnya.
Bangsa Arab sebelum islam juga mengembangkan ilmu astronomi (ilmu perbintangan) dari penemuan bangsa Babilonia yang indah ke Arab karena diserang oleh Bangsa Persi.
Bangsa Arab juga sudah mengenal ilmu pengobatan yang disebut “Thabib”. Ilmu ini berasal dari orang-orang Kaidan yang kemudian dikembangkan oleh orang-orang Arab.
2. DAKWAH NABI MUHAMMAD
a. Substansi dakwah Nabi Muhammad Saw. periode Makkah
Substansi Mekkah dakwah Nabi Muhammad Saw. periode Mekkah terkandung dalam 89 surat Makkiyah dan hadits-hadits peride Mekkah. Antara lain berisi tentang :
1.      Ke-Esa-an Allah Swt.
2.      Hari kiamat sebagai hari pembalasan
3.      Kesucian jiwa
4.      Persaudaraan dan Persatuan

Tujuan dari dakwah periode Mekkah inimantara lain agar masyarakat arab meninggalkan kejahiliyahannya di  bidang agama,moral,dan hokum.Setelah itu ,menjadi umat yang meyakini kebenaran kerasulan Nabi Muhammad saw.dan ajaran islam yang disampaiksnya,kemudian mengamalkanya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Strategi dakwah Nabi Muhammad saw pada periode Mekkah
Nabi  Muhammad Saw. pada periode Mekkah menggunakan strategi dakwah,antara lain :
1.      Dakwah secara sembunyi-sembunyi
Cara ini ditempuh karena beliau begitu yakin  bahwa masyarakat arab jahiliyah masih sangat kuat mempertahankan kepercayaan dan tradisi warisan leluhur. Mereka bersedia berperang dan rela mati dalam mempertahankanya demi tradisi leluhurnya tersebut
2.      Dakwah secara terang-terangan
Setelah dakwah berjalan 3 tahun secara diam-diam, Nabi Muhammad diperantahkan oleh Allah untuk melakukan dakwah secra terang-terangan.

Dijelaskan dalam Alquran surat Al-Hijr:94 yang artinya:
Maka sampaikanlah olehmu  secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.

Dalam dakwah secara terang-terangan Rosullullah dengan tahapan  sebagai berikut:
a.Mengundang kaum kerabat keturunan dari bani Hasyim, untuk menghadiri  jamuan  makan dan mengajak mereka masuk islam
b.Mengumpulkan para penduduk Mekkah terutama yang berada di tempat tinggal disekitar ka’bah untuk berkumpul di Bukit Shofa.
c.Menyampaikan seruan dakwah kepada para penduduk diluar kota Mekkah .


Kaum Qurausyi merasa terancam dengan berkembangnya dakwah islam. Mereka berusaha menghalang-halangi dakwh islam dengan berbagai cara,diantaranya dengan mem,utuskan hubungan antara kaum muslimin dan suku Quraisy, menyiksa Mereka yang lemah  sampai-sampai ada yang dibunuh.
Kaum Quraisy  menolak dan berusaha mengehentikkan dakwah rosul; dengan berbagai cara antara lain sebagai berikut :
a.Terhadap budak-budak yang telah masuk islam,tuan-tuanya wajib untuk menghukum dan menyiksanya
b.Melempari Nabi Muhammad Saw. dengan kotoran dan isi perut kambing.
c.Mengusulkan kepada Nabi Muhammad Saw. agar permusuhan dihentikan dengan cara suatu saat orang kafir Quraisy mengikuti ibadah orang islam, tetapi orang islam dilain waktu harus mengikuti ibadah mereka.

Namun semua itu tidah berhasil menghentikan dakwah rosul bahkann tantangan-tantangan yang berat lagi dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghentikan dakwah Rosullullah Saw. Diantaranya adalah Pemboikotan dan upaya pembunuhan terhadap  Rosullullah Saw.
Dengan cacatan sejarah, Kaum Quraisy tidak berani menyakiti nabi Muhammad Saw. karena beliau mendapatkan perlindungan dari pamanya Abu Thalib yang sangat disegani oleh kaum Quraisy. Abu Thalib memiliki pribadi yang sangat khas yaitu di satu sisi membenarkan islam membela keponakaanya. Namun pada kenyataanya tidak pernah mengikuti apa yang dibelanya sampai ia meninggal.setelah istrinya Khodijah  meninggal dunia demikian juga pamannya. Kaum Quraisy meningkatkan perlawananya terhadap dakwah nabi Muhammad Saw. Tahun itu disebut dengan tahun kesedihan atau ‘Amul Khuzni. Kaum Quraisy memboikot kaum muslimin dengan  menggantungakan piagam diatas ka’bah, agar  mereka tidak berhubungan dengan kaum muslimin.
Setelah kaum Quraisy melihat Nabi Muhammd Saw. tanpa perlindungan yang di segani, Muhammad Saw. dihina dan di caci maki oleh penduduk setempat. Nabi Muhammad Saw. mulai mengalihkan strategi dakwahnya dengan lebih baik untuk menyebarkan ajaranya ketika menjumpai sekelompok kecil dari jamaah haji yang berasal dari Yatsrib. Penduduk kota ini terdiri dari Bani Aus, Bani Khazraj, Suku Yahudi dan Bani Quraisy dan Nadhir. Mereka memeluk agama islam sebagai juru dakwah islam sehingga ajaran baru ini cepat tersebar dari rumah ke rumah  bahkan sampai suku ke suku yang lain. 2 tahun setelah musim haji, sekelompok jamaah dari yatsrib mengajak nabi Muhammad untuk hijrah atau mengunjungi kota mereka.Mereka akn setia kepasdanya (bersumpah setia kepadanya sebagai atasan atau pimpinan mereka) disebut dengan Baiah Aqobah.

BAB  III
PENUTUPAN

1.      Kesimpulan
Bangsa arab sebelum datang mereka mengembangkan ilmu astronomi  (ilmu perbintangan) dari penemuan bangsa babilonia yang  pindah ke arab karena di serang oleh bangsa Persia .Bangsa Arab juga mengenal ilmu pengobatan  yang disebut tabib .ilmu ini berasal dari orang-orang kaidan yang di kembangkan oleh orang-orang arab.Maka dari itu pantaslah kalau kita sebut  masih sangat jahiliyah.Kemudian setelah islam datang yang merupakan agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang membawa pencerahan bagi seluruh penduduk kota mekkah  dan seluruh alam.Halangan dan rintangan yang dialami Rosullullah merupakan hal  yang sangat luar biasa dan memilukan .Karena  hinaan dan cacian  yang dialami beliau diluar batas.